Bengkulu (ANTARA) - Aktivis lingkungan hidup di Bengkulu mendukung Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah agar tidak mengeluarkan izin operasi bagi perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara berkekuatan 2x100 megawatt yang sedang dibangun di daerah itu.

Juru kampanye energi Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Olan Sahayu, Selasa, mengatakan alasan Gubernur Bengkulu yang tak mau mengeluarkan izin operasi perusahaan PLTU jika ditemukan adanya potensi lingkungan rusak, dinilai tepat.

Apalagi, kata Olan, teknologi yang digunakan perusahaan untuk mengolah batubara menjadi energi listrik tersebut adalah teknologi lama yang dapat mencemari lingkungan dan meningkatkan polusi udara.

"Tidaklah berlebihan jika Gubernur Bengkulu tidak memberikan izin operasi, teknologi usang, ketidakjelasan substansi penyusunan dokumen Andal serta petikan pelajaran dari wilayah lain yang memiliki PLTU berteknologi kuno tersebut seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi Gubernur untuk tidak menerbitkan izin operasi," kata Olan di Bengkulu.

Baca juga: Gubernur Bengkulu sebut tak akan terbitkan izin operasi PLTU tanpa SLO

Baca juga: Pegiat lingkungan-nelayan bentangkan spanduk di PLTUB Bengkulu

Olan menjelaskan, berdasarkan dokumen Andal PLTU batubara Bengkulu itu menggunakan tipe boiler high pressure CFB (circulating fluidized bed).

Tipe boiler seperti ini digunakan untuk menghasilkan daya sebesar 2x100 MW dengan membakar batubara sebanyak 2.732,4 ton per hari.

Dari proses itu, kata Olan, abu yang akan dihasilkan sebanyak 14,48 ton per jam dengan asumsi penangkap abu bekerja sangat efektif yaitu sebesar 99,8 persen, abu yang akan dilepaskan ke udara berjumlah 695,4 kilogram setiap harinya.

"Abu yang terbang ke udara ini mengandung senyawa beracun seperti NO2, SO2 dan dan logam berat lainnya seperti arsenik, timbal dan mercuri, unsur tersebut berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan," paparnya.

Olan menambahkan, berdasarkan data yang dari quit coal disebutkan bahwa PLTU batubara Bengkulu itu dibangun menggunakan teknologi subcritical.

Menurutnya, teknologi tersebut sudah ditinggalkan oleh banyak negara dan bahkan China yang diketahui banyak membangun PLTU telah mengganti ke teknologi yang lebih maju seperti super ultra critical.

"Dengan analisa itu tentu kami mendukung agar Gubernur Bengkulu tidak mengeluarkan kebijakan pemberian izin operasi bagi perusahaan PLTU karena akan banyak menimbulkan permasalahan lingkungan hidup," demikian Olan.*

Baca juga: Kasus kematian 28 penyu di Bengkulu dalam tiga bulan perlu diselidiki

Baca juga: Warga serahkan empat bangkai penyu ke Gubernur Bengkulu

Pewarta: Carminanda
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020