Alhamdulillah, menjelang tiga tahun pengoperasian PLTS ini masih berfungsi dengan baik dan dapat dinikmati oleh warga Saugi

Makassar (ANTARA) - Saat malam hari duduk di dermaga Maccini Baji, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, nun jauh di sana kerlap-kerlip terlihat dari rumah-rumah di Pulau Saugi, pulau yang terdekat dari dermaga daratan Pangkep.

Kondisi itu sangat berbeda jauh dengan pulau-pulau lainnya yang belum dapat menikmati energi listrik berbayar dengan harga terjangkau.

Untuk sampai ke Pulau Saugi -- yang merupakan salah satu pulau dari 117 pulau di wilayah Kabupaten Pangkep -- dapat menggunakan perahu kayu yang dikenal dengan sebutan perahu "jolloro" berkapasitas 6-10 orang penumpang dari dermaga Maccini Baji, Kabupaten Pangkep yang letaknya sekitar 87 kilometer dari Kota Makassar.

Sebelumnya warga Pulau Saugi sudah menikmati listrik tenaga diesel, namun iurannya Rp120.000/bulan dinilai cukup mahal dengan pendapatan yang tidak menentu dari hasil melaut.

Dengan adanya bantuan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang diresmikan pada 10 Mei 2018 oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, warga Pulau Saugi akhirnya dapat menikmati listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan harga terjangkau. Itu menjadi bukti kemerdekaan di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring Utara, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Baca juga: Bingkisan listrik EBT dalam tabung untuk saudara di pulau terluar

"Alhamdulillah, menjelang tiga tahun pengoperasian PLTS ini masih berfungsi dengan baik dan dapat dinikmati oleh warga Saugi," kata Kepala Desa Mattiro Baji, H Muslimin Daeng Sirua, saat ditemui di kediamannya di Pulau Saugi, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Dia mengatakan pembangunan PLTS memiliki peranan yang sangat besar bagi 410 jiwa (123 KK) di Pulau Saugi yang 70 persen di antaranya bekerja sebagai nelayan.

Dengan adanya penerangan tersebut, anak-anak Pulau Saugi dapat belajar pada malam hari. Sementara ibu-ibu nelayan dapat membantu suami memperbaiki pukat atau jaring pada malam hari.

Hal itu dibenarkan oleh salah warga Pulau Saugi Hj Rusmiati. Menurut dia, sebelum menikmati listrik dari energi baru terbarukan itu, ia harus membayar iuran Rp4.000/hari atau Rp120.000/bulan agar bisa menikmati listrik dari diesel. Namun dengan listrik tenaga surya hanya membayar Rp20.000/bulan.

"Dengan penggunaan yang jauh lebih lama yakni mulai jam enam petang hingga jam tujuh pagi, biaya PLTS jauh lebih murah. Sementara PLTD hanya beroperasi lima jam mulai jam enam petang hingga jam 10 malam saja," katanya.

Sementara itu Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Mattiro Baji Muhammad Anas mengatakan pemeliharaan PLTS tersebut dilakukan oleh dua orang operator yang diupah dari hasil penagihan iuran listrik.

Baca juga: Pakar Energi UB: Potensi pembangkit EBT di Indonesia sangat besar

"Jadi selain untuk mengupah operator, juga disisihkan untuk pemeliharaan dan perbaikan mesin jika terjadi kerusakan sewaktu-waktu," katanya.

Dengan adanya PLTS dari EBT, lanjut dia, warga sudah lebih merdeka menikmati penerangan dengan harga yang sangat murah dan dapat membantu meningkatkan ekonomi desa.

Hj Rusmiati mengatakan dengan adanya listrik EBT itu, ia dapat membuat kue khas lokal pada malam hari untuk dijajakan keesokan harinya. Salah satu kue khas warga pulau tersebut adalah kue doi'-doi' yang merupakan kue kering berbentuk bulat tipis menyerupai uang koin.

Menurut ketua kelompok industri rumah tangga ini, anggota kelompoknya rata-rata sudah dapat membuat kerajinan tangan dari kerang-kerang di rumah pada malam hari ataupun kue untuk dijajakan atau jadi oleh-oleh bagi pendatang.

"Biasanya pengujung yang ke lokasi wisata Pulau Cambang-Cambang mampir ke Pulau Saugi untuk membeli oleh-oleh," katanya.

Baca juga: Menteri ESDM: Pemanfaatan EBT masih minim, baru capai 2,5 persen

PLTS EBT di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring Utara, Kabupaten Pangkep, Sulsel dapat dinikmati anak-anak sekolah yang belajar dimalam hari ANTARA Foto/Suriani Mappong


Penuh tantangan

Kendati warga Pulau Saugi sudah dapat menikmati listrik dengan harga yang relatif murah, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi di lapangan mulai dari tata kelola listrik itu hingga perawatannya.

Hal itu diakui Muhammad Ilham, operator yang masih bertahan mengoperasikan dan merawat PLTS di Pulau Saugi dengan upah Rp1,2 juta per bulan, itu pun harus dibagi dua dengan rekannya yang turut membersihkan dan merawat panel dan mesin PLTS tersebut.

"Kalau hanya berharap dari upah sebagai operator yang diperoleh dari iuran listrik warga, itu tidak cukup untuk biaya hidup keluarga. Jadi, terpaksa mencari kerja sambilan untuk bertahan," katanya.

Dia mengatakan setiap rumah yang dialiri listrik tenaga surya ini dipasang kapasitas 600 WattHour dengan total 125 rumah terpasang. Namun yang berkewajiban membayar iuran bulanan hanya 108 KK, karena selebihnya digratiskan bagi keluarga prasejahtera dan lanjut usia, termasuk untuk layanan MCK umum dan lampu jalan.

Dengan iuran Rp20.000/bulan , rata-rata pemasukan PLTS ini Rp1,7 juta per bulan yang digunakan untuk biaya operator dan pemeliharaan dan perbaikan jika terjadi kerusakan mesin sewaktu-waktu.

Baca juga: Kementerian ESDM: Bauran energi baru terbarukan capai 11,51 persen

Menyadari keberlangsungan PLTS ini ke depan, Kepala Desa Mattiro Baji ini mengatakan perlu membicarakannya dengan pihak terkait khususnya Kementerian ESDM dan juga masyarakat setempat terkait pertimbangan menambah iuran bulanan.

"Ini untuk perbaikan panel dan baterai yang sudah ada beberapa yang tidak berfungsi dari total 250 panel yang dioperasikan, sementara dari hasil iuran itu tidak mampu menutupi biaya perbaikan," katanya.

Sementara jika dibandingkan dengan iuran PLTS di Pulau Sabangko, itu mengenakan tarif Rp35.000/bulan/rumah tangga.

Untuk mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat, tentu harus ditunjang dengan kebutuhan dasar listrik yang memadai, mengingat geliat Pulau Saugi terus berkembang menjadi sentra produksi kepiting rajungan, perikanan tangkap dan buah tangan untuk para pengunjung yang berwisata bahari.

Mencermati kondisi itu, Kepala Bappeda Pangkep Abdul Gaffar menilai memang perlu mengatur pengelolaan PLTS yang lebih baik di pulau yang mendapatkan hibah dari Kementerian ESDM.

Baca juga: Pengembangan EBT biogas di Sulawesi Selatan capai 1.607 unit

"Kapastias listrik yang masih terbatas itu dapat ditingkatkan untuk mendorong perekonomian desa melalui lembaga ekonomi desa seperti koperasi atau Bumdes," katanya.

Hal tersebut dibenarkan Kabid Energi Baru Terbarukan dan Kelistrikan, Dinas ESDM Sulsel Achmad Habib. Potensi listrik non-PLN itu dapat saja dikembangkan seiring dengan adanya pemberian mandat pengelolaan ke Pemerintah Desa.

Pengaturan kelembagaan dan konsep kemitraan dalam mengelola PLTS, lanjut dia, hasil akhirnya diharapkan tidak memberatkan warga, sehingga listrik yang menjadi kebutuhan dasar bagi warga benar-benar dapat dinikmati.

Ke depan, Achmad berharap agar warga di pulau dan pesisir dapat menikmati listrik sama seperti warga yang ada di kota dan daratan. Menikmati listrik siang malam, tanpa takut kehabisan daya, karena jaminan daya listrik yang surplus.

Hal itu akan sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai rasio elektrifikasi nasional pada 2020 yang ditargetkan mencapai 100 persen.

Sementara rasio elektrifikasi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat (Sulselrabar) berdasarkan data PT PLN Unit Induk Wilayah Sulsebar pada akhir 2019 mencapai 98,25 persen atau 3,13 juta pelanggan listrik.

Selanjutnya pada medio 2020 rasio elektrifikasi di Sulsel sudah mencapai 98,7 persen. PLN UIW Sulselrabar menargetkan 2020 tingkat rasio elektrifikasi dapat mencapai 100 persen, karena sampai saat ini masih surplus 600 MegaWatt.

Target pemerintah menerangi semua pelosok desa dan pesisir, tentu menjadi harapan semua warga, tak terkecuali warga di Pulau Saugi yang sudah menikmati listrik murah dengan pengoperasian terbatas selama 12 jam per hari.

Kini masih ada ratusan pulau lagi di Kabupaten Pangkep yang menunggu kemerdekaan menikmati listrik meski hanya paruh hari. Semoga harapan itu segera terwujud seiring dengan bergulirnya waktu.

Baca juga: Sulawesi kaya sumber energi baru terbarukan untuk pembangkit listrik

PLTS EBT di Pulau Saugi, Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupa'biring Utara, Kabupaten Pangkep, Sulsel menerangi dermaga. ANTARA Foto/Suriani Mappong

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020