Jakarta (ANTARA) - Ketua Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari menilai Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan telah gagal melindungi anak dari rokok karena prevalensi perokok anak semakin meningkat.
"PP 109/2012 terbit pada akhir 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 menargetkan prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun turun menjadi 5,4 persen, kenyataannya malah meningkat," kata Lisda dalam jumpa pers yang diadakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) secara daring yang diikuti dari Jakarta, Selasa.
Lisda mengatakan Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun mencapai 7,20 persen. Ternyata, Riset Kesehatan Dasar 2018 menyatakan prevalensi perokok pada usia yang sama meningkat menjadi 9,10 persen.
Menurut Lisda, peningkatan prevalensi perokok yang jauh dari sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 itu menunjukkan ada sesuatu yang salah dan tidak berfungsi dari PP 109/2012.
Baca juga: KPPPA: Perda KTR indikator Kabupaten/Kota Layak Anak
Baca juga: Kemen PPPA ajak petinggi tekan promosi rokok kepada anak-anak
"PP 109/2012 bertujuan melindungi rakyat dari rokok, tetapi perokok anak malah semakin meningkat. PP tersebut tidak berarti dalam melindungi anak-anak. Jauh panggang daripada api," tuturnya.
Karena itu, Lisda mendukung pemerintah untuk segera merevisi PP 109/2012 dengan memperkuat sejumlah hal, antara lain perluasan peringatan kesehatan bergambar, pelarangan iklan rokok, hingga peningkatan cukai rokok.
"Kalau situasinya seperti ini terus, perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2030 prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun akan mencapai 16 persen," katanya.
Lisda menilai kegagalan PP 109/2012 dalam melindungi anak dari rokok antara lain karena iklan rokok masih diperbolehkan meskipun ada pengaturan. Hal itu membuat masih ada celah yang dimanfaatkan industri rokok dalam beriklan yang memang menyasar anak-anak untuk menjadi perokok baru, misalnya iklan melalui internet.
Kemudian, pelarangan sponsor rokok dengan menggunakan merek dagang produk juga tidak dipatuhi dan tidak diawasi secara ketat. Lisda mencontohkan audisi bulutangkis yang diadakan yayasan yang berafiliasi pada industri rokok.
"Katanya logo yang digunakan dalam audisi bukan logo atau merek rokok. Padahal jelas sekali mengarah pada produk rokok," tuturnya.
PP 109/2012 juga gagal mencegah penjualan rokok kepada anak. Nyatanya, anak-anak masih bebas membeli rokok, bahkan secara batangan.*
Baca juga: Forum Anak dorong kebijakan ketat lindungi anak dari iklan rokok
Baca juga: Mensos: Anak harus dibatasi aksesnya dari rokok
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020