Kalau memang target penerimaan pajak tidak maksimal karena relaksasi dan lainnya, maka bisa saja defisit kita tembus Rp1.000 triliun

Pontianak (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat, Prof Dr Eddy Suratman mengatakan adanya defisit RAPBN 2021 yang telah disampaikan Presiden Joko Widodo harus menjadi perhatian karena jumlahnya hampir mencapai Rp1.000 triliun.

"Target pendapatan negara pada RAPBN 2021 mencapai Rp1.776,4 triliun. Sedangkan belanja negara pada RAPBN diproyeksikan mencapai Rp2.747,5 triliun . Jadi ada defisit anggaran direncanakan sekitar 5,5 persen dari PDB atau sebesar Rp971,2 triliun," ujarnya di Pontianak, Selasa.

Ia menabahkan bahwa di tengah wabah COVID-19 masih melanda dan sejumlah relaksasi pajak yang masih diterapkan tahun depan, maka target penerimaan yang hanya dominan mengandalkan perpajakan berat dipenuhi.

Baca juga: Pemerintah diingatkan perlu hati-hati terkait pelebaran defisit APBN

"Kalau memang target penerimaan pajak tidak maksimal karena relaksasi dan lainnya, maka bisa saja defisit kita tembus Rp1.000 triliun," katanya.

Terkait persentase defisit anggaran 2021 sebesar 5,5 persen tersebut maka berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang keuangan negara maka melanggar. Hal itu karena dalam aturan tersebut maksimal defisit anggaran dalam APBN maksimal hanya 3 persen.

"Supaya tidak melanggar undang-undang maka perlu direvisi pasal yang mengatur batas maksimal defisit anggaran. Bisa saja batas maksimal defisit diubah menjadi 5 - 6 persen. Toh, negara luar juga ada mengatur defisit negaranya mencapai 7 - 8 persen," jelas dia.

Baca juga: Pemerintah akan bicara dengan DPR soal perubahan desain RAPBN 2021

Adanya defisit anggaran, kata dia, tentu memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan belanja negara. Bisa dengan menjual aset namun tentu berat. Kemudian bisa dengan utang luar negeri maupun dalam negeri. Namun kini negara lain pun juta butuh utang.

"Kalau soal utang, juga bisa saja lakukan utang dalam negeri meminta rakyat sementara membeli surat berharga negara. Kalau masih kurang bisa melalui lembaga luar seperti Bank Dunia, IMF, atau negara lainnya yang masih baik," kata dia.

Ia menambahkan untuk RAPBN 2021 sebaiknya fokus dan prioritaskan pembangunan infrastruktur yang langsung dinikmati masyarakat. Pada 2019 ini banyak pembangunan yang terpotong anggarannya dan ditunda sehingga pembangunan infrastruktur terbengkalai.

Baca juga: Sri Mulyani pastikan skema berbagi beban BI tidak berlanjut di 2021

Pewarta: Dedi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020