Jakarta (ANTARA News) - Rajutan persaudaraan terlihat di Puri atau Keraton Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten, Badung, Bali, Selasa, 15 Desember 2009, ketika sebuah mobil pick up membelah terik mentari siang dan berhenti persis di depan gapura puri.
Ketika kendaraan itu telah berhenti sempurna, turunlah Ibu-ibu berjilbab, disusul kemudian oleh puluhan lelaki berkopiah hitam dan bersarung yang menumpang kendaraan lain.
Mereka, kaum Muslim yang dipimpin oleh sesepuh Muhdin (70) dan Kepala Kampung Angantiga M Ramsudin (35), kemudian berjalan bersama menuju ke dalam puri. Siang itu, keluarga dan warga di sekitar puri yang penganut Hindu sedang melakukan upacara keagamaan di pemerajan (pura) agung Puri Carangsari.
Puluhan warga Muslim dari Kampung Angantiga, Kecamatan Petang ikut membantu terlaksananya upacara saudaranya yang Hindu. Sehari sebelumnya mereka juga membuat sesajen (banten) di puri itu.
Karena bantennya dibuat oleh umat Muslim, maka sesajen itu disebut dengan "Bebangkit Islam". Sesajen itu bersih dari hal-hal yang dilarang dalam Islam, khususnya daging babi. Mereka menggantinya dengan daging ayam.
Di dalam lingkungan puri, rombongan saudara Muslim itu diterima oleh keluarga puri, termasuk penglingsir atau pewaris, Anak Agung Ngurah Bagus Suarmandala. Mereka menunggu beberapa saat sebelum upacara dimulai.
Simaklah bagaimana mereka menyikapi itu.
Muhdin yang duduk di teras atas sebuah bangunan bersama penglingsir puri merasa beruntung hidup dalam iman Islam, namun berada di tengah masyarakat Hindu. Hal itu berbeda dengan asal leluhurnya di Sulawesi Selatan yang lebih banyak Muslimnya.
"Kami bersyukur bahwa hubungan persaudaraan dengan umat Hindu ini terus berlanjut sampai sekarang. Kami bersyukur karena meskipun beda agama, kami saling menghormati," kata lelaki berperawakan pendek yang tidak banyak lagi perbendaharaan bahasa Bugisnya itu.
Sambil menunggu prosesi upacara, Ramsudin menimpali ucapan sesepuhnya. Ia mengatakan bahwa dirinya bersama warga Muslim lain senang bisa berpartisipasi dalam kegiatan umat Hindu di Puri Carangsari.
Tidak banyak yang bisa mereka ceritakan mengenai hal itu, kecuali tentang nikmatnya hidup bersama dalam perbedaan.
Prosesi segera dimulai. Sebanyak 12 pemuda Muslim serentak mengambil tombak dan umbul-umbul dalam peralatan prosesi lainnya. Tak ketinggalan juga Ramsudin. Mereka tidak terlihat canggung dengan perannya masing-masing. Pertanda mereka sudah biasa melakukan itu.
Sementara Muhdin dan ibu-ibu berjilbab hanya ikut berjalan dalam rombongan prosesi.
Sangat mudah mengenali siapa Muslim dan siapa Hindu dari pakaian mereka. Umat Hindu umumnya menggunakan pakaian adat warna putih dalam prosesi yang menempuh perjalanan beberapa kilometer untuk menuju sebuah sumber tempat menyucikan diri. Sementara yang Muslim menggunakan pakaian hitam.
Kerukunan pemeluk Islam dan Hindu di sebuah desa di Bali itu bukan hal baru.
Anak Agung Ngurah Bagus Suarmandala bercerita bahwa kebersamaan umat Muslim di Angantiga dengan keluarga puri itu sudah teruji dan berlangsung sejak abad XIV.
"Raja Carangsari ketika itu, Ida Gusti Ngemangkurat Pacung Gede Tabuana memberikan wilayah untuk ditempati umat Muslim," kata Suarmandala, dua hari sebelum pelaksanaan upacara.
Ia kemudian menunjukkan sisa-sisa sesajen yang dibuat umat Muslim di lingkungan puri yang merupakan tempat kelahiran pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai itu. Sesajen Muslim itu ditempatkan di atas daun pisang, antara lain berisi sirih.
Tidak hanya itu, setiap akhir bulan puasa, umat Muslim juga berbuka puasa bersama di puri. Takbir kemudian menggema dari dalam puri.
Takbir yang dalam beberapa peristiwa kekerasan agama justru memancarkan ketakutan, di puri itu takbir mengabarkan kebesaran Tuhan yang sesungguhnya. Mereka membesarkan nama Tuhan lewat kebersamaan.
Saat mereka bertakbir, Suarmandala melakukan sembahyang di antara alunan takbir itu.
"Ada yang bertanya mengapa saya melakukan sembahyang di tengah saudara Muslim yang sedang bertakbir? Saya jawab bahwa saya ikut mensyukuri saudara saya yang Muslim yang telah sukses menyelesaikan kewajibannya selama satu bulan," katanya.
Di malam kemenangan umat Islam itu, dia bersama beberapa keluarga puri kemudian diarak oleh warga Angantiga. Masih bersama alunan takbir, prosesi itu berjalan menuju Angantiga. Sebuah pemandangan unik, ketika seorang Hindu berada di lautan Allahu Akbar.
Suarmandala sebagai pemimpin puri diundang oleh umat Muslim Angantiga untuk memberikan wejangan berkaitan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Pertemuan itu digelar di masjid Angantiga.
Begitulah kedekatan mereka. Kedekatan yang membuat mereka sepakat untuk bertali dalam simpul pesaudaraan. Bahkan makam umat Hindu dan Muslim di Angantiga juga berada dalam satu lokasi.
"Karena itu, jangan ajari kami mengenai toleransi. Kami sudah mempraktekkan persaudaraan ini sejak berabad-abad yang lalu. Yang perlu dilakukan oleh semua pihak, khususnya pemerintah adalah bagaimana melestarikan persaudaraan ini," ujar Suarmandala.
Raja Carangsari
Persaudaraan mereka bermula ketika pada abad XIV Raja Carangsari Ida Gusti Ngemangkurat Pacung Gede Tabuana gundah karena banyak rakyatnya yang dari pegunungan hilang saat hendak melakukan upacara di lingkungan puri.
"Kalau ada warga dari pegunungan mau ke puri, dari 15 orang, yang selamat cuma enam orang. Yang lainnya hilang karena dimakan raksasa. Kemudian terdengar ada tiga pengembara dari Bugis yang terkenal sakti," katanya.
Setelah dicari oleh utusan raja, ketiga pendekar Bugis itu, yakni Daeng Mapileh, Daeng Safei, dan Daeng Sarekah ditemukan di pesisir Angantelu, daerah yang saat ini masuk Kabupaten Karangasem.
Ketiganya diminta bantuan oleh raja untuk menumpas kejahatan dan menjaga warga pegunungan yang hendak ke puri. Sejak itu, rakyat Carangsari dari pegunungan merasa aman untuk melakukan aktivitas.
Para pendekar itu kemudian diberi wilayah di Angantiga oleh raja. Setelah menikah, mereka kemudian beranak pinak, dan saat ini berjumlah sekitar 300 kepala keluarga..
Sehari-hari penduduk Angantiga sudah tidak menggunakan bahasa Bugis, melainkan bahasa Bali. Mereka sepenuhnya menjadi bagian dari Bali seutuhnya.
Tradisi mencari nafkah mereka juga sudah berbeda dengan leluhurnya yang dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka tidak lagi berteman dengan laut, melainkan pertanian dan perdagangan.
Mereka juga tidak hanya bersaudara dengan orang yang mengikrarkan iman dengan dua kalimat syahadat. Mereka tetap bahagia dalam lingkungan itu karena saudaranya yang Hindu memberikan perlindungan dan kebebasan.
Kekayaan kuno itu boleh jadi luput atau terlupakan dalam hiruk pikuk Bali yang sepanjang tahun disibukkan melayani wisatawan. Padahal, seperti di Carangsari itulah cita-cita ideal tentang Indonesia yang bhinneka tunggal ika.
Warga hidup rukun jika masing-masing tidak lagi mengibarkan bendera Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi, Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan lainnya di atas merah putih dan persaudaraan sesama manusia. Semua melebur dalam satu belanga toleransi.
Bisakah keindahan sosial seperti itu dianggap layak menjadi komiditi baru dalam industri pariwisata, sebagaimana umumnya keunikan lain yang dimiliki Bali?
Kenyataan yang merupakan wujud dari tujuan agama-agama di dunia itu,--yakni untuk memakmurkan alam dan saling mengenal dalam perbedaan--, bisa diperluas tidak saja di Carangsari, Gerenceng, Makam Siti Khotijah dan Puri Langgar.
Tampilan sejuk dari relasi pemeluk agama itu diharapkan tidak dibiarkan mengalir begitu saja, lalu suatu saat musnah.
Untuk mewujudkan relasi Carangsari, Gerenceng, Makam Siti Khotijah dan Pura Langgar memang diperlukan kesadaran bahwa pluralisnya agama di muka bumi ini adalah kehendak Tuhan juga.
Pluralisme agama itu bisa disimak dalam pendapat seorang mahaguru sufi Muslim, Ibn Al Arabi. Ia mengatakan, Tuhan sendirilah yang menjadi sumber perbedaan yang ada di seluruh alam ini.
"Jalan menuju Tuhan adalah sebanyak jiwa manusia itu sendiri," kata Ibn Al Arabi sebagaimana dikutip Syafa`atun Almirzanah PhD dalam bukunya "When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim".
Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, Cirebon, KH Husein Muhammad juga menyebutkan, Tuhanlah yang menghendaki makhluk bukan hanya berbeda dalam realitas fisik, melainkan juga dalam ide, gagasan, berkeyakinan dan beragama.
Hal itu, katanya, dipertegas dalam Alquran Surat Hud ayat 118 yang artinya, "Andaikata Allah menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Dan (tetapi) mereka senantiasa berbeda". (tamat)
Pewarta: Masuki M. Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009