Jakarta (ANTARA News) - Ketika Barack Obama dilantik sebagai presiden AS pada awal tahun ini, harapan bertaburan di sejumlah penjuru dunia bahwa pemimpin baru itu akan bisa mengakhiri atau setidaknya meredakan konflik mematikan di sejumlah negara seperti Afghanistan dan Irak.
Sorak-sorai pun berkumandang riuh ketika Obama diambil sumpahnya sebagai Presiden ke-44 AS pada 20 Januari di Capitol Hill, Washington DC.
Penduduk sipil tidak berdaya di negara-negara konflik itu menyambut positif kehadiran Obama dengan harapan pemimpin baru tersebut bisa mengentaskan mereka dari penderitaan akibat perang.
Obama dalam pidato pelantikannya berjanji akan mengalihkan operasi pasukan dari Irak ke Afghanistan dan berusaha mencapai perdamaian meski hal itu tidak mudah dilakukan.
"Kita akan mulai meninggalkan Irak untuk memberikan tanggung jawab kepada rakyatnya, dan mewujudkan perdamaian yang sulit di Afghanistan," katanya.
Untuk menopang rencana itu, ia menyatakan akan mengirim puluhan ribu prajurit tambahan AS untuk bertempur melawan Al-Qaeda dan Taliban.
"Penduduk Afghanistan pada akhirnya akan melakukan pengamanan mereka sendiri," kata Obama.
Presiden baru AS berdarah Amerika-Afrika itu berjanji akan menyelesaikan permasalahan strategi dan sumber daya setelah perang delapan tahun di Afghanistan.
"Ini menjadi perhatian saya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut," katanya.Obama juga mengatakan bahwa seluruh dunia bertanggung jawab membantu Amerika dalam misi di Afghanistan.
Pada awal Desember, Obama memerintahkan pengiriman 30.000 prajurit tambahan ke Afghanistan untuk bergabung dengan pasukan AS dan NATO yang sudah berada di negara itu untuk memerangi Taliban dan sekutunya.
Perintah Obama itu ditindaklanjuti oleh negara-negara NATO yang menjanjikan pengiriman sedikitnya 7.000 prajurit lagi untuk mendukung upaya baru pimpinan AS untuk mencapai kemenangan di Afghanistan.
Namun, kekerasan di negara itu hingga kini tidak mereda dan bahkan berkobar semakin hebat. Menjelang tutup tahun pun, seorang prajurit AS tewas dalam serangan bom.
Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO mengumumkan Minggu (27/12), seorang prajurit ISAF asal AS tewas dalam ledakan bom improvisasi (IED), pembunuh terbesar pasukan asing dalam perang delapan tahun di Afghanistan.
Tahun mematikan
Tahun ini tidak saja mematikan bagi prajurit, polisi dan warga sipil Afghanistan namun juga bagi pasukan internasional yang memerangi Taliban. Sebagian besar kekerasan terjadi di provinsi-provinsi selatan seperti Kandahar dan Uruzgan.
Delapan tahun setelah penggulingan Taliban dari kekuasaan di Afghanistan, lebih dari 40 negara bersiap-siap menambah jumlah prajurit di Afghanistan hingga mencapai sekitar 150.000 orang dalam kurun waktu 18 bulan, dalam upaya baru memerangi gerilyawan.
Lebih dari 500 prajurit asing tewas sejak Januari, yang menjadikan 2009 sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.
Dari jumlah kematian itu, 310 orang adalah prajurit AS, menurut data yang diperoleh Kantor Berita AFP. Jumlah korban tewas itu dua kali lipat dari angka kematian militer AS pada 2008.Tahun lalu, jumlah prajurit asing yang tewas di Afghanistan mencapai 295.
Saat ini terdapat lebih dari 110.000 prajurit internasional, terutama dari AS, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Serangan-serangan Taliban terhadap aparat keamanan Afghanistan serta pasukan asing meningkat dan puncak kekerasan terjadi hanya beberapa pekan menjelang pemilihan umum presiden dan dewan provinsi pada 20 Agustus.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Dalam salah satu serangan paling berani, gerilyawan tersebut menggunakan penyerang-penyerang bom bunuh diri untuk menjebol penjara Kandahar pada pertengahan Juni tahun lalu, membuat lebih dari 1.000 tahanan yang separuh diantaranya militan berhasil kabur.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.
Kekerasan di Irak
Rencana Obama untuk memberikan tanggung jawab keamanan kepada rakyat Irak juga menemui hambatan.
Meski secara keseluruhan kekerasan mereda, serangan-serangan masih terus berlangsung di negara itu hingga menjelang berakhirnya 2009.
Pada Minggu (27/12), lima orang tewas dan 27 lain cedera, termasuk lima wanita dan seorang polisi, dalam serangan bom di kota Tuz Khurmatu di Irak utara terhadap iring-iringan massa yang mengikuti Asyura, ritual Syiah untuk memperingati pembunuhan Imam Hussein oleh pasukan kalifah Yazid (Sunni) pada tahun 680.
Anggota-anggota pasukan keamanan akhir-akhir ini juga menjadi sasaran utama kekerasan di Irak yang diluncurkan oleh sejumlah kelompok ekstrim, termasuk Al-Qaeda, setelah invasi pimpinan AS pada 2003.
Serangan-serangan itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang membayang-bayangi pemilu Irak pada tahun depan.
Seorang jenderal senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan berlangsung pada Maret.
Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.
"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.
Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."
Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.
Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.
Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.
Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.
Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.
Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.
Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.
Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.
Rangkaian kekerasan yang masih terjadi di Afghanistan dan Irak menunjukkan bahwa siapa pun presiden AS, bahkan Obama sekalipun, bukan "dewa penyelamat" yang bisa dengan mudah menghentikan perang.(*)
Pewarta: Memet Suratmadi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009