Jakarta (ANTARA News) - Suatu hari, Mendel John Pols, kelahiran Amsterdam, Belanda, 16 Maret 1967, mengendarai sepeda motor tua merek Honda memasuki kawasan Lhok Nga, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), tidak lama setelah tsunami menerjang.

Sudah menjadi rahasia umum, kawasan itu tepatnya di sekitar tepi Sungai Krueng Raba menuju Pucok Krueng, adalah markas besar tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), jauh sebelum perjanjian damai Helsinski ditandatangani.

Ia memarkir sepeda motor di depan sebuah surau kecil diiringi sorot curiga masyarakat setempat yang hampir tak pernah kedatangan orang asing."Saya mencari orang GAM," katanya lantang.

Dengan sosok setinggi 183 cm, perawakan besar, dan kulit putih kemerahan, kedatangan Mendel di sebuah kampung kecil wilayah Lhok Nga tampak sangat mencolok.

Seseorang dengan lirik penuh curiga bertanya kepada pria bule itu, mengapa mencari GAM.

"Saya ada lowongan pekerjaan," jawabnya. Dan hanya dalam hitungan detik, Mendel telah dikerumuni setidak-tidaknya 30 orang.

"Saya seperti gula yang dikerubuti semut, tidak sampai dua menit puluhan orang berkerumun di sekitar saya," kata pria yang fasih berbahasa Prancis itu, saat mengenang peristiwa dua tahun lalu itu.

Tidak banyak yang kemudian langsung percaya kepada Mendel. Hanya seorang bernama Marjuni yang kemudian mengajaknya bertemu dengan komandan GAM wilayah Pucok Krueng bernama Muharram.

"Mister harus izin dahulu kepada Muharram," kata Marjuni pada Mendel ketika itu.Meski kala itu, tiga tahun tsunami telah berlalu dan Aceh telah sepakat untuk damai, pengaruh pimpinan GAM masih saja kental.

Mendel yang memiliki nama Islam, Nurdin Al Hidayah itu, menurut. Ia bukan tanpa bekal berani masuk ke sarang gerilyawan tanpa jaminan keselamatan. Setidaknya surat rekomendasi yang ditandatangani langsung oleh Gubernur NAD, Irwandi Yusuf, tersimpan rapi di kantongnya.

Muharram yang telah beralih profesi menjadi kontraktor bangunan, hanya mengangguk setuju tatkala tanda tangan sang gubernur tampak di depan pelupuk matanya.

Mulai detik itulah, Mendel menjalankan paket wisata gerilya, jungle tracking ke bekas markas GAM, melalui biro perjalanan Aceh Explorer yang didirikannya.

"Marjuni yang pertama diangkat menjadi pemandu wisata, setelah itu sekarang ada 30 mantan GAM yang menjadi pemandu wisata gerilya," kata Mendel yang menikahi gadis Aceh bernama Jamilah Usman.

Akhir 2007 menjadi titik balik mulai dibukanya bekas markas GAM bagi turis pecinta petualangan. Di sanalah Mendel yang masih resmi berkewarganegaraan Belanda itu menjalankan bisnis prospektifnya.

"Ada beberapa tempat yang sudah lumayan siap untuk dijadikan destinasi wisata gerilya, yaitu Pucok Krueng, Samahani, Keude Bieng, dan Lhong, semuanya baru di Aceh Besar belum termasuk Aceh bagian lain," katanya.

Wisata gerilya bagi Mendel merupakan paket wisata yang menarik karena memungkinkan turis berkunjung ke bekas-bekas markas GAM di hutan-hutan yang sulit dijangkau.

Bagi para pecinta petualangan, wisata gerilya menjadi pilihan menarik karena tantangan yang ditawarkan relatif menguji adrenalin.

Susur jejak para gerilyawan, maka seseorang akan mengalami tantangan untuk menaiki bukit berelevasi hampir tegak lurus hingga melintasi hutan yang jauh dari peradaban.

Namun bayarannya sungguh setara karena Aceh selalu menawarkan kecantikan alam yang tiada duanya.

Dan turis akan dipandu langsung oleh pelaku sejarah mantan tentara GAM yang terlibat kontak senjata langsung di lokasi yang sama dengan TNI/Polri.

Mendel mengatakan, wisata gerilya membuka kesempatan kerja bagi mantan prajurit GAM yang sebelumnya sulit mencari pekerjaan.

"Dengan semakin banyaknya turis, mereka akan mendapatkan penghasilan semakin besar," katanya.Seorang pemandu dibayar Rp150 ribu sehari setiap selesai menjalankan tugasnya.

Inspirasi wisata gerilya datang ke benak Mendel hasil belajar dari pengalaman pengelolaan wisata serupa di sejumlah negara seperti El Salvador.

Syahril (26), salah satu pemandu yang juga mantan prajurit GAM, mengaku senang menjalankan profesi barunya."Saya tak punya kepandaian apa-apa, yang saya tahu cuma hutan," kata pria asal Lampisang, Lhok Nga, Aceh Besar, itu.

Unik
Dua tahun lalu, Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Irwandi Yusuf, tersenyum mendengar usulan "gila" Mendel menjadikan bekas markas GAM sebagai kawasan wisata.

"Wisata gerilya merupakan hal baru yang unik yang mungkin hanya bisa ditemukan di Aceh, di tempat lain tidak ada," kata Irwandi.

Ia sendiri berkepentingan untuk membuka semakin banyak lapangan pekerjaan di Aceh dan wisata gerilya menawarkan peluang yang sangat besar.

"Aceh punya potensi alam yang banyak dan dengan wisata gerilya kita bisa melakukan semacam napak tilas dan latihan simulasi semacam out bond yang tidak kalah menarik dengan wisata berjemur di pantai yang tidak kita tawarkan di sini," katanya.

Isu sarat muatan politis dan sensitivitas tinggi ditepisnya jauh-jauh, sebab di matanya, sepanjang dilakukan dengan positif thinking segalanya akan berjalan dengan baik.

"Saya menamakannya ekowisata gerilya untuk Aceh," kata Irwandi yang kemudian setuju memberikan surat rekomendasi kepada Mendel untuk mengelola wisata gerilya dua tahun silam.

Ia berpendapat, perubahan profesi mantan anggota GAM menjadi pemandu wisata gerilya, justru akan membuka lebih banyak lapangan kerja baru di wilayahnya. Sebab, penyediaan lapangan pekerjaan baru di Aceh relatif sulit, kata Irwandi.

"Kepentingan saya adalah bagaimana mereka mendapat pekerjaan dan menjadi pemandu itu mungkin salah satu jalan keluar karena mereka dapat melakukan itu dengan baik," katanya.

Mulai kini, di tengah Aceh yang damai, semakin banyak mantan tentara memandu pelancong menyambangi bekas markas persembunyiannya ketika konflik berlangsung.Dan, banyak turis berucap; Loen gisa lom u Aceh (saya akan kembali ke Aceh).(*)

Oleh Hanni Sofia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009