Aceh Besar (ANTARA News) - Lhok Nga di Aceh Besar punya cara untuk menceritakan sejarahnya sendiri. Di balik keindahan hutan tropis yang kaya dengan kandungan mineral, lebih dari 5 tahun silam, kisah tentang gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersimpan rapi di dalamnya.
Perbukitan terjal di hulu sungai Krueng Raba, lebih tepatnya Pucok Krueng, menjadi saksi bisu putra-putri Aceh yang "kecewa" dan mengangkat senjata. Di kawasan yang sama itulah, jejak bekas konflik masih dapat dilihat hingga kini.
Hulu Sungai Krueng sekaligus bukit nan tinggi yang menjadi sumber mata airnya adalah buku sejarah terlengkap bagi mereka prajurit Hasan Tiro yang mengangkat senjata di bawah komandan GAM kawasan Aceh besar bernama Muharram.
"Masih ada bekas-bekas senjata kami dan tempat-tempat penyimpanan perbekalan di atas," kata salah satu mantan gerilyawan GAM, Merizal (26), yang kini telah bekerja sebagai pemandu wisata.
Ia menunjuk sebuah bukit bebatuan tajam dengan ketinggian 700-1.000 m dpl. yang di bawahnya mulai mengalirkan air Krueng Raba.
Bukan mudah, untuk menuju kawasan itu, perlu waktu sekitar 20-25 menit berperahu mesin menyusuri Sungai Krueng Raba yang bermuara di Laut Lhok Nga.
Lhok Nga sendiri setengah jam dari pusat kota Banda Aceh bila ditempuh dengan kendaraan roda empat.
Namun, meski harus berpeluh menuju kawasan itu, Aceh selalu menawarkan bayaran yang setara; kecantikan alam yang tiada duanya.
Lihat, air sungai berwarna hijau pastel memantulkan wajah pegunungan di atasnya. Air sungai menjadi "ibu" yang menghidupi satwa air di dalamnya mulai dari ikan, kerang, hingga biawak raksasa.
Markas GAM
"Dulu saya dua tahun hidup di sini hampir tidak pernah turun," kata kawan sejawat Merizal, Dede (33).
Pria asli Lhok Nga itu demikian cekatan menerobos hutan dan memanjat bebatuan tajam yang tak pernah ramah.
Ia menceritakan persahabatannya dengan alam, mulai dari pertemanannya dengan beruang madu hingga memberi makan harimau.
"Beruang madu akan setia pada kita kalau dia diberi minyak," kata pria beranak dua itu.
Bukit di atas Krueng Raba bagi pria bernama asli Arde itu adalah rumah, ia sanggup hidup berbulan-bulan hanya dari belas kasihan hutan itu.
"Kalau saya haus, saya minum air dari batang pohon lontar atau yang lain dan kalau kelelahan saya makan belimbing. Pernah coba makan buah nipah? Rasanya manis sekali," katanya.
Dede sesekali memperlihatkan kantong-kantong gua berbatu di sela-sela bukit sembari menjelaskan peruntukkannya.
Ada sela-sela yang dipergunakan sebagai tempat penyimpanan jerigen air minum berkapasitas 15 liter. "Lebih atas nanti, ada dapur kami," katanya.
Dede mengaku di tempat yang sama itulah terjadi kontak senjata dengan TNI ataupun polisi.
"Marjuni pernah tertembak," kata Dede menunjuk kawan sejawatnya. Marjuni memperlihatkan dua bekas luka tembak tanpa jahitan di lengannya, luka tanda perjuangan panjang yang ia sebut tak akan pernah dilupakan.
Marjuni mengaku semakin tangguh saat berhasil selamat dari penembakan. Setelahnya ia diangkat menjadi komandan regu yang membawahi 10 prajurit dan ia menyatakan akan loyal luar biasa kepada Muharram sebagai kepanjangan tangan Hasan Tiro.
"Kami sangat hormat karena kami dilatih untuk itu. Kami biasa dilatih oleh orang Libya jadi seluruh sandi-sandi kami berbahasa Libya," kata Marjuni.
Memang tak ada gubug apalagi rumah permanen yang menunjukkan mereka pernah ada di sana. Yang mereka sebut markas hanyalah sebuah cerukan goa di atas bukit berelevasi hampir tegak lurus. Di sanalah mereka menyatu dengan alam.
Sementara di perbukitan level bawah, sedikit jejak TNI masih terlihat. Bekas ransum berbahan kaleng mulai karatan akibat korosi.
Mencari Keadilan
Di sana ada Merizal, Dede, Marjuni, Juni, dan Ryan yang menjadi sepotong bagian perjuangan GAM, namun apa yang sebenarnya mereka cari ketika itu?
"Ingin merdeka?Tidak juga, sebab kami hanya ingin diperlakukan adil," kata Ryan yang bergabung dengan GAM wilayah Bireun.
Lain cerita Dede, ia bergabung dengan GAM lantaran kecewa selalu gagal dalam penerimaan anggota TNI.
"Saya sudah berkali-kali daftar tapi gagal terus, mereka menolak saya," katanya.
Sementara Merizal yang masih demikian beliau, sempat mengalami trauma berkepanjangan ketika suatu hari ayahnya diseret dari rumah dan dipukuli pria-pria berbadan tegap dengan rambut cepak tepat di depan matanya.
"Tidak ada pilihan lain bagi saya waktu itu, bayangkan bagaimana sakitnya," katanya yang mengaku mulai mencangklong senjata jenis AK saat umurnya baru menjelang 18 tahun.
Bertahun-tahun melanglang hutan, terlibat kontak senjata, kepanasan dan kehujanan, lapar dan haus, pada akhirnya menemui titik tamatnya. "Tapi toh akhirnya kami menang dengan adanya perdamaian," kata Merizal.
Ia berkeras menegaskan, sekarang Aceh sudah sepenuhnya aman. Tak ada yang perlu ditakutkan lagi dengan GAM, kata dia.
"GAM dengan TNI sudah begini," kata dia sambil mentautkan kedua jari telunjuknya menunjukkan keakraban. Ia bercerita tentang betapa banyak proyek-proyek yang telah diselesaikannya dengan TNI mulai dari pembangunan rumah bantuan hingga infrastruktur jalan pasca-tsunami.
Mantan-mantan pejuang GAM bahkan kini tak pernah keberatan bekas markasnya dijadikan obyek wisata gerilya. Dan mereka sendirilah yang akan menawarkan diri sebagai pemandu wisata.
Merizal mengaku memiliki tanggungan, adiknya masih bersekolah di bangku SMP, oleh karena itu, ia harus bekerja. Di luar itu, ia memiliki banyak keinginan lain.
"Dulu saya berpikir kapan giliran saya mati, sekarang saya pusing mikir kapan saya punya kereta (sepeda motor)," demikian salah satu mantan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Merizal, 26 tahun, di tengah Aceh yang damai.(*)
Oleh Hanni Sofia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009