Jakarta (ANTARA) - Tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Yogyakarta tanpa mencicipi gudeg, makanan khas dengan cita rasa manis yang lekat dengan citra kota tersebut.
Dalam tur virtual jejak sejarah Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta dan Solo dari HIS Travel, Sabtu, Aryono dari Historia.id menjelaskan usia gudeg kira-kira sama dengan usia kota Yogyakarta.
Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi dua wilayah Mataram menjadi di bawah dua penguasa, Yogyakarta pun dibuka.
"Tadinya itu hutan. Karena hutan dibuka, banyak prajurit yang mencoba mengonsumsi apa yang ada di hutan, seperti pohon nangka dan kelapa," kata Aryo.
Baca juga: Lakukan lima aktivitas seru ini saat bertualang di "Kota Gudeg"
Baca juga: Gudeg kemasan kaleng dikembangkan di Sleman
Racikan masakan yang dibuat dari nangka dan santan itu diolah dalam kuali besar. Hasilnya, nangka muda yang diolah dengan santan menjadi hidangan manis, disajikan bersama nasi, kuah santan kental, lengkap dengan sambal goreng krecek.
Nama gudeg, kata Aryo diambil dari cara memasaknya yang disebut hangudeg.
Gudeg juga disebut di Serat Chenthini, salah satu karya sastra dalam kesusastraan Jawa Baru.
Gudeg Yu Djum adalah salah satu gudeg yang ternama di Yogyakarta. Yu Djum mulai berjualan gudeg gendongan sejak 1950, usahanya berkembang menjadi 12 gerai di Yogyakarta dan kawasan lain di Jawa Tengah.
Tur virtual jejak sejarah Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta dan Solo mengajak warganet menjelajahi tempat-tempat di dua kota tersebut, termasuk pantai Parangkusumo, Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Kota Gede, hingga Makam Raja-Raja Mataram.
Baca juga: Gudeg dan nasi kapau di Swiss
Baca juga: UGM kembangkan teknologi pengawetan gudeg
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020