Jakarta (ANTARA News) - Selasa (8/12) malam, untuk pertama kali sejak memegang pucuk pimpinan negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu untuk berpidato menjelang Hari Anti Korupsi Dunia yang diperingati keesokan harinya.
Dipandu teleprompter, malam itu pukul 21.00 WIB di Istana Merdeka, Presiden Yudhoyono berdiri di balik podium kenegaraan berlambang Garuda menyampaikan pidato dengan raut wajah terlihat tegang hingga ia beberapa kali salah ucap dan bahkan terpeleset lidah menyebut korupsi menjadi koperasi.
Suasana menjelang malam itu memang menegangkan kala itu, menyusul kabar yang disampaikan Presiden Yudhoyono sendiri. Beberapa kali dalam berbagai kesempatan berbeda, ia membeberkan informasi yang diterimanya bahwa peringatan hari anti korupsi dunia akan ditunggangi kelompok tertentu dengan muatan politik.
Bahkan, Presiden secara terang-terangan menyebutkan ada kelompok tertentu yang ingin menggoyang kekuasaannya, dan bahkan kalau bisa ingin menjatuhkan pemerintahan yang dipimpinnya.
Seperti peristiwa ledakan bom Marriott pada Juli 2009, Presiden Yudhoyono kali ini kembali merasa menjadi sasaran tembak. Tidak seperti saat itu Presiden sampai menunjukkan bukti intelijen berupa foto wajahnya yang dijadikan sasaran latihan tembak oleh kelompok teroris, kali ini Kepala Negara cukup membeberkan bahwa ia sudah mengantungi informasi rinci tentang apa, siapa, dan sasaran kelompok yang ingin menggulingkan kekuasaan tersebut.
Meski pada akhirnya informasi tersebut tidak, atau mungkin belum terbukti, karena peringatan Hari Anti Korupsi Dunia 2009 berjalan damai, pernyataan Presiden tersebut ibarat sistem peringatan dini yang otomatis berbunyi akibat tsunami kasus aliran dana talangan Bank Century yang getarannya dirasakan oleh pusat kekuasaan.
Kasus aliran dana talangan Bank Century yang mencapai jumlah amat fantastis, Rp6,7 triliun, menyeret beberapa orang terdekat Presiden Yudhoyono, termasuk wakil presiden yang mendampinginya, Boediono.
Bahkan beredar informasi bahwa tim kampanye pasangan Yudhoyono-Boediono menerima aliran dana talangan Bank Century pada Pemilu Presiden 2009. Meski informasi tersebut telah berulang kali ditampik oleh Presiden Yudhoyono, namun akhirnya memancing reaksi publik.
Aksi unjuk rasa merebak di mana-mana, dan DPR pun berinisiatif membentuk panitia khusus Bank Century yang kini prosesnya masih bergulir.
Kasus Bank Century menjadi batu ujian pertama bagi Presiden Yudhoyono yang menang amat meyakinkan pada Pemilu 2009 untuk menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia kedua kalinya melalui perolehan suara lebih dari 60 persen.
Pemberitaan kasus tersebut sampai menutupi publikasi program kerja 100 hari pertama pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua yang dibentuk Presiden pada Oktober 2009.
Cermin Buruk
Kasus Bank Century yang merebak sepanjang 2009 ibarat cermin buruk yang menampilkan borok-borok wajah penegakan hukum di Indonesia secara telanjang dan lengkap.
Sesuatu yang selama ini dibicarakan secara bisik-bisik dan hanya menjadi rahasia sebagian orang, kini diangkat secara terbuka dalam perbincangan ruang publik.
Kriminalisasi terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, diduga kuat berakar dari kasus tersebut karena pemaksaan status tersangka kepada keduanya terjadi saat KPK tengah menyelidiki kasus Bank Century.
Tim independen verifikasi fakta hukum kasus Chandra dan Bibit yang dibentuk oleh Presiden pun menemukan keterkaitan amat kuat antara kasus Bank Century dan upaya kriminalisasi tersebut sehingga salah satu butir rekomendasinya mengamanatkan pengusutan tuntas kasus itu.
Dari rangkaian kasus tersebut, terkuak pula praktik mafia hukum di Indonesia bukan lagi cerita bisik-bisik yang hanya dipercaya dengan sebelah telinga. Kini publik percaya, kasus hukum dapat diatur, penegak hukum dapat dibeli dengan uang.
Terkuak pula rivalitas tidak sehat antara lembaga penegak hukum di Indonesia yang menyebabkan pemberantasan korupsi selalu tidak menemukan arah dan agenda yang tepat karena selalu terpentok ego sektoral dan kepentingan sesaat para pimpinan lembaga.
Satu per satu, semua wajah buruk penegakan hukum di Indonesia tersebut tampil ke permukaan melalui uraian kusut kasus Bank Century. Namun, pemerintah baru menawarkan komitmen untuk berbenah diri.
Presiden Yudhoyono berjanji memperbaiki institusi kepolisian dan kejaksaan. Pengawasan perbaikan dua lembaga penegak hukum itu akan langsung berada di bawah koordinasinya. Reformasi birokrasi di Kejaksaan dan Kepolisian dijanjikan menjadi prioritas program pemerintah selama lima tahun mendatang.
Ia juga membentuk satuan tugas khusus pemberantasan mafia hukum yang akan bertugas selama dua tahun. Satgas di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) itu akan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada guna memberantas praktik mafia hukum.
Untuk menegaskan komitmennya bukan janji basa-basi, Presiden menegaskan sebagai kepala negara dirinya yang paling berkepentingan dengan keberhasilan pemberantasan korupsi. Ia juga menegaskan akan menjadi orang terdepan untuk jihad melawan korupsi.
Namun, jauh mendahului janji Presiden dan langkah pemerintah yang seolah baru berupaya mencari solusi setelah ada persoalan, sudah ada yang lebih dahulu bergerak secara nyata, yaitu rasa keadilan masyarakat.
Rasa keadilan masyarakat bangkit secara tulus menembus segala batas dari pojok-pojok dunia maya hingga mewujud nyata dalam gerakan masif. Aksi dukungan sejuta "facebookers" untuk Chandra dan Bibit sukses mendorong penguasa untuk mencari celah guna membebaskan keduanya dari status tersangka.
Masih ada lagi gerakan sosial pengumpulan koin untuk Prita Mulyasari yang menembus angka lebih dari setengah miliar rupiah.
Dua gerakan sosial itu muncul secara spontan dengan caranya sendiri untuk membereskan persoalan, meliputi berbagai kalangan dengan satu sebab, rasa keadilan.
Kini kasus Bank Century masih menunggu penyelesaian di ranah hukum serta ranah politik melalui proses hak angket di DPR. Pesimisme dan optimisme terhadap kejelasan dan penyelesaian adil kasus tersebut bergantian timbul tenggelam dalam ruang publik.
Jauh dari retorika, akrobat politik, dan konflik kepentingan, rakyat telah menunjukkan penyelesaian seperti apa yang mereka inginkan melalui gerakan sosial yang muncul spontan.
Langkah itu menunjukkan keinginan bahwa penegakan hukum seharusnya benar-benar untuk memenuhi rasa keadilan, bukan komoditi yang bisa dipelintir untuk kepentingan sesaat.
Penyelesaian kasus Bank Century akan menunjukkan kesigapan dan keseriusan penguasa untuk berbenah diri menegakkan hukum.
Para penguasa setidaknya makin paham bahwa mereka berkejaran dengan gerakan sosial rakyat yang makin berani dan nyata dalam mengambil langkah mewujudkan rasa keadilan yang diinginkan.
Langkah pemerintah selanjutnya juga memperlihatkan, mereka menjadikan kasus Bank Century sebagai memomentum perbaikan atau malah sebagai sisi terdalam kemerosotan hukum.
(*)
Oleh Diah Novianti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009