PBB (ANTARA News/Reuters) - Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi pada Eritrea, Rabu, karena negara Tanduk Afrika itu dianggap membantu gerilyawan muslim garis keras di negara tetangganya, Somalia.

Sebuah resolusi yang didukung 13 dari 15 anggota DK menerapkan embargo senjata, pembekuan aset dan larangan perjalanan pada Eritrea dan individu serta perusahaan yang ditetapkan oleh komite sanksi yang ada. Termasuk mereka yang terkena sanksi adalah pemimpin-pemimpin negara itu.

AS dan beberapa negara lain menuduh Eritrea memasok dana dan senjata kepada kelompok gerilya al-Shabaab yang berusaha menggulingkan pemerintah transisi Somalia yang didukung PBB.

Eritrea berulang kali membantah tuduhan tersebut.

Libya, yang tidak memiliki hak veto di DK PBB, memberikan suara menentang resolusi tersebut, sementara China yang memiliki hak veto abstain.

Resolusi Rabu itu menetapkan bahwa Eritrea harus "berhenti mempersenjatai, melatih, dan memperlengkapi kelompok-kelompok bersenjata dan anggota-anggota mereka, termasuk al-Shabaab, yang bertujuan menggoyahkan kawasan itu" dan juga mengatasi perselisihan perbatasan dengan Djibouti.

Resolusi itu menyebutkan, "Tindakan-tindakan Eritrea yang merongrong perdamaian dan rekonsiliasi di Somalia serta perselisihan antara Djibouti dan Eritrea merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional."

Baru kali ini PBB menerapkan sanksi kepada Eritrea.

Beberapa anggota DK mengatakan, Uganda semula merancang resolusi tersebut setelah Uni Afrika mendesak badan PBB yang beranggotakan 15 negara itu menghukum Eritrea karena peranannya di Somalia. Namun, Eritrea menuduh AS sebagai dalang di balik pemberlakuan sanksi-sanksi itu.

Saingan regional Eritrea, Ethiopia, menginvasi Somalia pada 2006 dengan dukungan AS untuk menghalau kelompok  garis keras yang berkuasa dari Mogadishu, ibukota Somalia. Pasukan Ethiopia ditarik dari negara itu pada awal tahun ini.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Washington menyebut al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari sejak itu, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara Tanduk Afrika itu. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009