Gaza City (ANTARA News/AFP) - Ketika para penjabat PBB memberikan kunci rumah baru berdinding bata kepada seorang warga Palestina Majid Asamna, mereka mengatakan pondok itu hanya tempat sementara dari rumahnya yang digusur Israel hampir setahun lalu.
Namun seperti banyak penduduk Gaza lainnya yang kehilangan rumah karena malapetaka kekejaman perang Israel, yang dilancarkan terhadap wilayah yang dikuasai HAMAS itu, Majid Asamma tidak yakin.
"Di sini tidak pernah ada pembangunan kembali," katanya.
"Saya yakin rumah yang katanya sementara ini akan menjadi rumah permanen," ujarnya.
Israel dan Mesir telah menutup Gaza dari semua pintu, serta membatasi bantuan kemanusiaan sejak gerakan HAMAS merebut kekuasaan atas wilayah itu pada Juni 2007.
Sejak itu, wilayah yang berpenduduk 1,5 juta jiwa itu hampir tak pernah mendapat kesempatan untuk mendapatkan bahan-bahan bangunan.
Namun pada awal pekan ini, 16 kelompok hak azasi manusia (HAM), termasuk Amnesti Internasional dan Oxfam, menuduh masyarakat internasional melakukan "pengkhianatan" terhadap penduduk sipil Gaza dengan kegagalan mereka menghentikan pemblokadean.
Kelompok-kelompok itu mengatakan dalam laporannya, bahwa Israel hanya mengizinkan 41 truk untuk mengangkut bahan bangunan ke Gaza sejak malapetaka perang 22 hari itu, yang berakhir dengan saling menyatakan gencatan senjata 18 Januari.
Bagian-bagian dari wilayah itu sebagian besar porak poranda oleh perang, seperti tanah kosong yang centang perenang di Ezbet Abed Rabbo, di mana Asamna tinggal, yang kini sedikit berubah sejak pertempuran itu berakhir.
Sampai bulan ini, Asamna dan banyak tetangganya tinggal di tenda-tenda dan tempat-tempat penampungan kecil hasil sumbangan kelompok-kelompok bantuan, dan mendirikan reruntuhan rumah mereka.
Namun kemudian dia menjadi penerima pertama rumah bata yang dibangun oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina itu, sebagai tindakan untuk membantu beberapa warga Gaza yang kehilangan rumah, agar selamat dari musim dingin tanpa tempat peneduh.
"Ini bukan satu alternatif untuk pembangunan kembali," kata Adnan Abu Hasna, juru bicara Badan Penyelamatan dan Pekerja PBB (UNRWA).
Dia menambahkan, bahwa rumah Asamna adalah model untuk rumah yang dibuat dari bata, yang dirancang oleh badan tersebut, yang akan dibangun.
Pada tahap pertama, proyek akan membangun 120 rumah dengan biaya masing-masing 12.000-15.000 dolar, dengan bantuan dana dari Kuwait dan Masyarakat Palang Merah Uni Emirat Arab.
Sekitar 6.400 rumah rusak dan hancur akibat perang, menurut data PBB. Sebagian besar pemilik mereka kini tinggal di tenda-tenda atau terpaksa bergabung tinggal dengan kerabatnya yang lain.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009