Lompatan kedua adalah dengan mengucurkan belanja pemerintah secara ekstrem.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta untuk mengucurkan belanja negara secara ekstrem untuk bisa melompat jauh melewati jurang krisis akibat pandemi COVID-19.
“Lompatan kedua adalah dengan mengucurkan belanja pemerintah secara ekstrem,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Bhima menyebutkan pada kuartal II secara “year on year” belanja pemerintah turun 6,9 persen yang dinilai tidak wajar.
“Tentu ini tidak wajar. Idealnya belanja pemerintah yang jadi motor pertumbuhan dengan percepatan realisasi dan pengisian DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran),” ujarnya.
Baca juga: Round Up-RAPBN 2021 dinaungi tantangan pandemi COVID-19
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontraksi konsumsi pemerintah disebabkan oleh penurunan realisasi belanja barang dan jasa di kuartal II 2020, yakni turun 22,17 persen “year on year” dan belanja pegawai 10,64 persen “year on year”
Kontraksi belanja barang dan jasa utamanya dipengaruhi oleh penundaan dan pembatalan kegiatan Kementerian dan Lembaga (K/L) sejak pertengahan Maret 2020 akibat pandemi COVID-19.
Selain itu juga ada perubahan kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) pada 2020, yaitu kepada pejabat negara, pejabat eselon I dan II, dan pejabat lainnya yang setara tidak mendapat THR.
Baca juga: Pemerintah anggarkan Rp356,5 triliun dukung Pemulihan Ekonomi Nasional
Presiden Joko Widodo dalam Pidato Penyampaian RUU APBN 2021 dan Nota Keuangan pada Rapat Paripurna DPR-RI Tahun Sidang 2020-2021 di Gedung MPR/DPR, menyebutkan belanja negara sebesar Rp2.747,5 triliun untuk tahun 2021 atau naik tipis 0,3 persen dari pagu tahun ini sebesar Rp 2.739,2 triliun.
Kepala Negara berharap belanja dapat menjadi motor penggerak ekonomi 2021 yang ditargetkan tumbuh di kisaran 4,5 persen sampai 5,5 persen.
“Berbagai kebijakan belanja negara secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong tercapainya sasaran pembangunan pada tahun 2021, yakni tingkat 11 pengangguran 7,7-9,1 persen, tingkat kemiskinan di kisaran 9,2-9,7 persen, dengan menekankan pada penurunan kelompok kemiskinan ekstrem, tingkat ketimpangan di kisaran 0,377-0,379, serta indeks pembangunan kualitas manusia (IPM) di kisaran 72,78-72,95,” kata Presiden.
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020