Jakarta (ANTARA) - Indonesia butuh terobosan baru untuk mengatasi bencana berulang kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di tengah pandemi COVID-19 saat ini.
"Persoalan karhutla ini sudah 37 tahun terjadi, persoalannya sama, tindakannya sama. Jika di 2016-2018 cukup turun laju luasan karhutla, tapi di 2019 meningkat lagi,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan M Teguh Surya dalam webinar Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi diakses di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan penurunan luasan karhutla di 2016-2018, selain faktor cuaca dan iklim berkorelasi juga dengan inovasi baru pencegahan karhutla yang dilakukan pemerintah, dengan melakukan restorasi gambut. Meskipun demikian, kondisi saat ini di atas kertas restorasi gambut memang menjadi prioritas, namun jika dicek secara nyata justru "terseok" di lapangan.
Jika melihat lampiran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, ia mengatakan total lahan gambut yang telah direstorasi pada kawasan budi daya berizin atau konsesi hanya mencapai 143.448 hektare (ha) atau sekitar 8 persen dari target 1.784.353 ha sampai 2020.
Sementara restorasi lahan gambut di kawasan non-izin mencapai 682.694 ha atau 77 persen dari target 892.248 ha sampai 2020. Karenanya, menurut Teguh, Indonesia butuh terobosan baru lagi untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Ia mengatakan sejauh ini upaya aparat untuk menanggulangi karhutla dengan pemadaman api sudah cukup optimal, namun seharusnya pencegahan yang ditingkatkan dengan memperkuat lagi upaya restorasi gambut dan penanaman kembali hutan yang rusak dan terbakar.
Alokasi anggaran menjadi salah satu tantangan, terlebih di masa pandemi COVID-19, di mana pergeseran dana diutamakan untuk mengatasi krisis kesehatan tersebut. Namun Teguh mengatakan jika ingin menghentikan karhutla yang perlu dilakukan mengembalikan kondisi ekosistem hutan dan gambut, karena 75 persen area yang terbakar biasanya ada di hutan dan gambut yang rusak.
Pencegahan karhutla
Pada kesempatan yang sama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan berdasarkan data dan pakar gambut, 99 persen karhutla disebabkan ulah manusia, hanya satu persen saja karena alam. Dan sekitar 80 persen area yang sudah terbakar itu menjadi kebun.
Dalam menghadapi karhuta tahun ini ia mengatakan tentu berbeda karena di saat yang sama sedang terjadi pandemi COVID-19. Kelompok rentan, seperti lansia dan pasien dengan komorbiditas tinggi semakin rentan kesehatannya jika ditambah asap karhutla.
Karenanya, kata Doni, harus ada upaya lebih serius dan kerja keras untuk menyampaikan ke masyarakat jangan ada yang membakar. Jika terlihat ada api harus segera dipadamkan sebelum membesar, terutama jika terjadi di lahan gambut yang sulit dipadamkan.
Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, pencegahan menjadi langkah terbaik, salah satunya dengan menjaga gambut tetap basah dan berawa sesuai kodratnya. Dan berupaya mengubah perilaku masyarakat dan intervensi pada pihak yang masih membuka lahan dengan cara membakar.
Dari penjelasan sejumlah kepala desa, Doni mengatakan setiap tahun ada saja masyarakat mereka yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk membuka lahan dengan cara membakar.
“Jadi pembuka lahan perkebunan harus sadar, tidak bisa mau dapat untung ekonomi saja dan merugikan ekosistem,” ujar Doni.
Ia mengapresiasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah cukup gigih menjerat korporasi yang diduga terlibat membuka lahan dengan cara membakar hingga masuk ke peradilan. Dalam beberapa minggu terakhir sejumlah kasus karhutla sudah disidangkan.
Konsep Desa Mandiri
Menurut Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, jika hendak melibatkan masyarakat untuk mengatasi karhutla maka dapat melalui konsep desa yang sudah diklasifikasikan menjadi lima oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, di antaranya Desa Mandiri, Desa Maju, Desa Berkembang, Desa Tertinggal, Desa Sangat Tertinggal.
Terdapat tiga penilaian dengan Indeks Desa Membangun untuk mengklasifikasikan 74.954 desa yang ada di Indonesia, mulai dari indeks ekonomi, sosial dan ekologi desa. Dan dari angka tersebut jumlah Desa Mandiri belum sampai 1.000 desa, kata Sutarmidji.
Menurut dia, langkah yang bisa mendorong masyarakat di level desa untuk benar-benar menjaga lingkungannya, termasuk tidak membakar lahan, yakni dengan memberikan Dana Desa yang lebih besar pada desa-desa yang terbukti mampu menjaga ekologi desanya.
Sutarmidji mengatakan hampir semua yang bukan berstatus Desa Mandiri di Kalimantan Barat indeks ekologi desanya jelek. Dengan sistem insentif dan disinsentif tentu masyarakat desa, terlebih yang menggantungkan hidup pada lahan gambut tidak akan merusaknya.
“Indeks Desa Membangun bisa jadi terobosan mengatasi karhutla. Karena di dalamnya ada indikator karhutla juga,” ujar dia.
Dari penilaian Indeks Desa Membangun, menurut dia, sebenarnya bisa saja dilihat desa-desa mana yang rentan merambah hutan. Kalau sampai indeks ekologi atau lingkungannya tinggi, namun ekonominya rendah, tentu juga berbahaya, karena bisa saja masyarakat desa ada yang dimanfaatkan orang untuk membuka lahan dengan membakar.
Hanya saja yang menjadi persoalan sekarang, kata Sutarmidji, desa yang sudah mandiri Dana Desanya dikurangi, dan yang belum mencapai status Desa Mandiri dananya ditambah. Itu menjadi kekhawatiran, jika sampai ada masyarakat desa yang berpikir untuk tidak perlu memperhatikan lingkungannya karena tetap akan memperoleh dana yang lebih besar.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020