"Pemerintah dan rakyat Indonesia harus segera sadar dan melakukan tindakan untuk membela kepentingan negara dan rakyat Indonesia," kata Pakar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Ricky Avenzora, MSc kepada ANTARA di Bogor, Minggu..
Untuk itu, katanya, sudah saatnya pemerintah dan rakyat Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi bersama atas berbagai sepak terjang LSM multi nasional yang berkiprah di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini.
Ia mengemukakan penilaian itu terkait dengan berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi/KTT (COP) ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, yang diikuti 26 negara peserta, di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga hadir bersama pimpinan dunia lainnya.
COP ke-15 Perubahan Iklim akhirnya menerima "Kesepakatan Kopenhagen" (Copenhagen Accord) sebagai lampiran keputusan konferensi di Kopenhagen.
"COP memutuskan sebuah draft keputusan yang mencatat (take note) dan melampirkan `Copenhagen Accord`, serta disebutkan negara-negara yang memprakarsai dan mendukung," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa usai mengikuti sidang pleno COP di Bella Center, Kopenhagen, Denmark, Sabtu.
Marty menjelaskan keputusan ini tidak mencapai keputusan yang mengikat secara hukum (legally binding agreement) tapi hanya berupa keputusan (decision) yang merupakan hasil paling lemah dalam sebuah konferensi multilateral.
"Keputusan `take note` merupakan hasil konferensi paling lemah," katanya.
Menurut Ricky Avenzora, pemerintah dan rakyat Indonesia harus bisa menilai dan membatasi berbagai tindakan propaganda LSM multi-nasional yang selama ini secara sistematis dan terstruktur telah menghancurkan berbagai sendi-sendi nasionalisme bernegara dan berbangsa melalui tindakan propaganda isu lingkungan yang tidak seimbang dan membodohi masyarakat lokal yang mereka jual namanya untuk kepentingan mereka semata.
"Untuk itulah lembaga yang berfungsi sebagai LSM Watch itu dibutuhkan untuk mengawasi tindakan-tindak LSM yang ada guna membela kepentingan negara, bangsa dan rakyat Indonesia dari berbagai tindakan standar ganda, kecurangan LSM, maupun propaganda negara asing melalui isu lingkungan," katanya.
Pada saat bersamaan, kata dia, ada faktor penting lainnya yakni bagi para pegiat lingkungan Indonesia untuk segera membangun suatu "Aliansi LSM Nasional", yaitu suatu LSM yang secara murni dibiayai oleh berbagai sumber ekonomi nasional untuk melakukan berbagai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) LSM secara murni bagi kepentingan nasional dan sekaligus membela kepentingan nasional dalam percaturan politik LSM dunia.
Ia juga menyatakan agar semua pihak berkepentingan dengan isu lingkungan untuk berhenti menghabiskan waktu, tenaga dan uang untuk melakukan seminar, konfrensi ataupun KTT dunia dalam lingkungan, dan menyegerakan aksi nyata di lapangan.
"Perbaikan lingkungan dunia tidak akan pernah selesai dengan pola terlalu banyak bicara dan berdebat, tapi perlu kerja nyata yang riil di lapangan," kata doktor lulusan Universitas Goettingen Jerman itu.
Dikemukakannya bahwa dualisme negara maju dalam mengambil tanggung jawab perbaikan lingkungan dunia adalah hal yang lumrah. "Hanya saja kita (pemimpin dan masyarakat) negara berkembang yang selama ini terlalu terlalu malas berfikir, terlalu lemah dan mau dibuai oleh janji-janji serta mimpi atas `carbon-dollar', serta terlalu bodohmemprediksi dan menerjemahkan politik ekonomi negara maju yang mereka
bungkus dengan kemasan lingkungan," katanya.
Secara mendasar, kata dia, adalah benar bahwa ada kesadaran bersama tentang perlunya tindakan global dalam perbaikan lingkungan global, namun perlu disadari dalam pelaksanaannya ada banyak hal yang akan mempengaruhi pola bertindak pada masing-masing negara. Beberapa diantaranya adalah politik ekonomi dan strategi investasi.
Dalam konteks politik ekonomi, kata dia, maka tidak akan ada satu negara majupun yang secara riil akan mau menjadi pionir melakukan investasi ekonomi jangka panjang di negara orang lain --apa lagi negara berkembang-- dengan kondisi rendahnya tingkat kepastian manfaat yang nyata bagi negara mereka, baik dalam arti "tangible benefit",
seperti kemudahan dan alokasi kayu dari tegakan hutan yang dibangun bersama ataupun dalam arti "intangible benefit", seperti manfaat iklim mikro di negara berkembang tempat dibangunnya "hutan dunia" bagi iklim makro secara keseluruhan.
Menurut dia, harus bisa dimengerti bahwa meskipun bisa diasumsikan ada beberapa negara maju yang benar-benar telah mempunyai kesadaran bersama, antara rakyat dan pemimpinnya untuk perlu melakukan perbaikan lingkungan dengan mengalokasikan anggaran belanja negara mereka.
Akan tetapi, dalam perspektif strategi akan lebih bermanfaat bagi mereka untuk menggunakan alokasi dana tersebut di negara mereka sendiri untuk melakukan "research and development" perbaikan teknologi yang ramah lingkungan yang suatu saat bisa mereka paksakan kembali untuk dibeli dengan harga mahal oleh pemimpin dan rakyat negara berkembang yang selama ini telah mereka tekan (jika tidak ingin
dikatakan dibodohi) dengan segala larangan serta kriteria lingkungan
yang tidak seimbang, demikian Ricky Avenzora.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
Ijin2 Untuk Perkebunan kelapa sawit masih saja di berikan. yang memberikan ijin itukan pemerintah sendiri. ANEH!!!