"Bagi Indonesia, konferensi ini sudah mencapai apa yang kita harapkan karena dari awal persepektif kita sudah realistis," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa usai mengikuti sidang pleno COP di Kopenhagen, Denmark, Sabtu.
Indonesia menyadari dari awal kemungkinan kecil akan tercapai kesepakatan yang mengikat secara hukum (legally binding treaty) dalam COP ke-15 meski disyaratkan dari keputusan COP ke-13 2007 di Bali.
Menlu mengatakan Indonesia merasa puas dengan hasil di Kopenhagen karena lima agenda permasalahan yang diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di KTT tersebut telah terakomodir dalam "Copenhagen Accord".
Lima poin yang disebutkan Presiden RI yaitu mengenai usaha bagi seluruh dunia untuk menahan agar dampak perubahan iklim tidak sampai menaikkan suhu global sampai dua derajat celcius pada 2050, perlunya negera maju menyebutkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara ambisius.
Agenda lainnya yaitu perlu adanya pembiayaan dari negara maju untuk penanganan dampak perubahan iklim oleh negara maju dan negara tertinggal, perlunya penerapan pola pembangunan yang ramah lingkungan, masalah MRV (measurement, reporting and verifying) pelaksanaan komitmen penanganan perubahan iklim, dan masalah kehutanan.
"Dalam pembuatan pidatonya, Presiden RI berusaha menghindari retorika dan lebih berorientasi aksi. Dan lima masalah itu ternyata diterima sesuai pandangan negara lain dan dicerminkan dalam Copenhagen Accord," katanya.
Bahkan salah satu usulan Indonesia yaitu mengenai perlunya pengurangan emisi dari perusakan dan penggundulan hutan (REDD/Reducing Emission on Deferostation and Degradation Forest) diterima sebagai paragraf enam Copenhagen Accord.
Meski bukan merupakan keputusan mengikat secara hukum, Marty mengatakan Copenhagen Accord disebutkan bisa segera dioperasionalkan oleh para penandatangan sehingga komitmen dapat ditagih oleh negara-negara lain.
Copenhagen Accord juga menjadi dasar kerangka politik untuk merumuskan dan menghasilkan "legally binding treaty" yang disebutkan tercapai pada pertengahan atau paling lambat akhir 2010 pada COP ke-16 di Meksiko.
pembangunan nasional
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengagtakan Copenhagen Accord akan diadopsi dalam kerangka kerja pembangunan nasional sehingga Indonesia memiliki program yang sejalan dengan upaya penanganan perubahan iklim.
Hal tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan pers saat transit di Dubai, di sela-sela perjalanan Kopenhagen menuju Jakarta, Minggu dini hari waktu Indonesia.
"Karena Indonesia ikut dalam perumusan tersebut, maka rencana aksi nasional yang sudah kita siapkan akan kita mutakhirkan,artinya yang sudah kita miliki akan kita cocokkan," kata Presiden.
Ia menjelaskan sejak awal telah mengetahui pencapaian kesepakatan tentang peran masing-masing negara dalam upaya penanganan perubahan iklim akan berlangsung alot dan tidak mudah, namun demikian Indonesia harus tetap memiliki langkah dalam negeri terlepas dari ada atau tidak adanya kesepakatan di Kopenhagen.
"Di samping rencana aksi nasional yang sudah dimutakhirkan, maka kita pastikan dilampiri oleh rencana aksi daerah-daerah. Dengan demikian tidak perlu menunggu sempurna protokol baru," jelasnya.
Lebih jauh tentang rencana aksi nasional, Kepala Negara mengatakan para kepala daerah, bupati dan walikota diminta untuk mendukung hal tersebut, karena mereka merupakan ujung tombak pemerintah di daerah.
"Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab susun policy, anggaran dan akumulasi langkah untuk capai itu, tidak akan berhasil kalau tidak ada dukungan dari private sektor," kata Presiden.
Kepala Negara menambahkan keikutserta sektor swasta khususnya yang bergerak di bidang kehutanan, harus menghentikan perilaku main bakar, tebang.
"Saya akan berlakukan aturan yang keras bagi yang ingkar, private sektor ada di situ selain untuk benefit tapi juga membantu negara," katanya.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009