Kelompok itu telah dibawa ke bandara Phnom Penh dan akan naik pesawat ke Shanghai, kata Henryk Szadziewski, dari Proyek HAM Uighur di Washington.
"Ada sebuah pesawat yang siap membawa mereka," katanya, dengan menambahkan bahwa organisasinya menerima informasi itu dari sumber-sumber lokal di Kamboja. Belum ada pejabat yang bisa segera dihubungi untuk dimintai komentar mereka.
"Ini pelanggaran berat atas hukum internasional, penindasan China hanya menambah kebencian dan amarah di kalangan muslim Uighur dan semakin memudarkan citra global China," kata Leonard Leo, ketua Komisi AS mengenai Kebebasan Beragama Internasional, sebuah badan penasihat non-partisan pemerintah AS.
Kelompok itu tiba di kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) setelah melarikan diri dari kerusuhan mematikan di wilayah Xinjiang, China baratlaut, dan keberadaan mereka di Phnom Penh baru diketahui umum dua pekan lalu.
Amnesti Internasional pekan ini mendesak Kamboja tidak mendeportasi kelompok orang Uighur itu, yang sebelumnya disebut-sebut berjumlah 22 orang yang berusaha memperoleh status pengungsi PBB di Kamboja dengan alasan mereka berisiko disiksa bila berada di China.
Seruan kelompok HAM itu disampaikan setelah China memperingatkan Selasa bahwa program-program pengungsi PBB "tidak seharusnya menjadi tempat berlindung bagi penjahat" dan mengatakan ke-22 orang Uighur itu, yang mencakup tiga anak, terlibat dalam kegiatan kriminal.
Bulan ini China menjatuhkan hukuman mati pada belasan orang yang dinyatakan terkait dengan kerusuhan di Xinjiang
Bulan lalu, sembilan orang yang divonis mati telah dieksekusi karena peranan mereka dalam kekerasan itu, yang merupakan kerusuhan terburuk di China dalam waktu puluhan tahun.
Hukuman-hukuman mati itu telah menyulut kecaman dari sejumlah negara Barat dan kelompok hak asasi manusia yang mempertanyakan keadilan persidangan.
Sejauh ini 41 orang telah diadili dan dihukum terkait dengan kerusuhan tesebut.
Dalam kekerasan etnik pada Juli, orang-orang Uighur menyerang warga mayoritas China Han di Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang, setelah turun ke jalan untuk memprotes penyerangan terhadap pekerja Uighur di sebuah pabrik di China selatan pada Juni yang menewaskan dua orang Uighur.
Beijing mengatakan, sedikitnya 197 orang tewas dalam kerusuhan pada 5 Juli di Urumqi antara orang-orang minoritas Uighur dan kelompok enik dominan China Han. Lebih dari 1.600 orang juga terluka dalam kerusuhan tersebut.
Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul setelah kerusuhan itu.
Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".
Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.
Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.
Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China.
Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.
Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.
Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009