Kopenhagen (ANTARA News/Reuters) - Presiden Barack Obama mengungkapkan keyakinannya bahwa kesepakatan global mengenai iklim bisa dipastikan, setelah belasan pemimpin dunia berkumpul Rabu ini untuk mencoba memecahkan kebuntuan pembicaraan mengenai iklim yang disponsori PBB itu.
"Presiden yakin bahwa kita bisa mendapatkan satu kesepakatan operasional yang masuk akal di Kopenhagen," kata Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs, dalam brifing pers di Washington, Selasa waktu AS, atau tiga hari sebelum tenggat waktu bagi keluarnya kesepakatan baru PBB dalam mengatasi perubahan iklim.
Para pemimpin dunia termasuk Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Zimbabwe Robert Mugabe dan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, diagendakan memberikan pidato pada pertemuan iklim yang berlangsung dari 7-18 Desember, yang sampai hari ini masih didominasi pertemuan para menteri lingkungan hidup.
Para pemimpin dunia masih memiliki waktu sebelum digelarnya pertempuan puncak pada Jumat untuk menyetujui satu kesepakatan dibawah tenggat waktu yang disusun dalam pertemuan Bali, Indonesia, 2007. Negosiasi-negosiasi sejak pertemuan Bali dirusak oleh ketidakpercayaan di antara negara-negara kaya dan miskin.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menulis opini di International Herald Tribune opinion, edisi Selasa, bahwa keberhasilan di Kopenhagen, menuntut semua kekuatan ekonomi besar untuk mengambil langkah menentukan dan menyepakati sebuah sistem yang transparan dan dipercaya.
"Presiden yakin bahwa (kita) akan mendapatkan kesepakatan yang benar-benar operasional. Itulah salah satu hal yang dia akan lakukan begitu kita maju," kata Gibbs.
Dengan kian dekatnya tenggat waktu bagi pakta untuk mendorong satu pergeseran dalam bisnis karbon rendah, beberapa politisi mengingatkan risiko dari kegagalan dalam negosiasi antar 193 bangsa, kendati mereka mendesak adanya kompromi untuk mengatasi kebuntuan.
"Mungkin saja kita tidak akan mencapai kesepakatan dan juga benar bahwa banyak sekali masalah yang harus dipecahkan," kata Brown di Kopenhagen, Selasa malam.
"Pada jam-jam terakhir ini kami tengah menyeimbangkan sukses dengan kegagalan," kata Ketua konferensi dua minggu ini berkebangsaan Denmark, Connie Hedegaard, pada pembukaan tahap pembicaraan tingkat tinggi, Selasa malam.
Satu pertemuan formal diantara lebih dari 120 pemimpin dunia, Kamis dan Jumat, diharapkan menghasilkan kesepakatan global untuk memperlambat naiknya suhu yang menyebabkan gelombang panas, banjir, penandusan tanah, dan naiknya permukaan laut.
Para menteri lingkungan hidup mengadakan pertemuan sejak pekan lalu, untuk mencoba meredakan ketegangan diantara negara kaya dan miskin mengenai berbagi beban dampak emisi gas rumah kaca dan meningkatkan pendanaan baru sampai miliaran dolar AS untuk negara miskin.
"Benchmark (landasan) inti mutlak bagi sukses adalah bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, (dunia) memiliki kesepahaman antara negara kaya dan miskin dalam soal tantangan bersama ini," kata Perdana Menteri Australia di Kopenhagen.
PBB menginginkan negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya sampai 2020 lebih besar dari yang direncanakan, menghendaki negara berkembang berbuat lebih banyak dalam memperlambat kenaikan emisi mereka, dan menginginkan miliaran dolar AS untuk membantu negara miskin.
China, Amerika Serikat, Rusia dan India adalah negara penghasil emisi terbesar, dan semuanya menyusun sasaran untuk menekan emisi selama beberapa bulan terakhir. Namun negara kaya dan miskin menuntut lebih dari yang bisa diberikan pihak lain.
Kendala terbesar adalah bahwa Amerika Serikat belum meloloskan legislasi pengurangan emisi, tidak seperti semua negara industri besar lainnya.
Friends of the Earth menyatakan bahwa pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Uskup Agung Desmond Tutu telah menulis suarat kepada semua pemimpin Afrika untuk kukuh menuntut kesepakatan yang membatasi pemanasan global sampai kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius seperti di era pra industri.
Sebaliknya, banyak negara yang memilih batas lebih moderat pada 2,0 derajat Celcius.
"Tujuan global dari batas 2 derajat Celcius adalah mengutuk Afrika, menyetujui pembakaran, dan tidak ada pembangunan modern," bunyi surat Tutu tersebut.
Tutu mengatakan adalah lebih baik tidak menyepakati apapun, daripada menghasilkan kesepakatan yang buruk.
Namun Brown mengungkapkan bahwa ongkos kegagalan mengendalikan gas rumah kaca, yang sebagian besar karena pembakaran bahan bakar fosil, adalah besar sekali.
"Berdiam diri akan menyebabkan berkurangnya pendapatan nasional kita hingga 20 persen, bencana ekonomi yang setara dengan akibat dua perang dunia di abad ini, dan Depresi Besar," kata Brown dalam pernyataannya begitu tiba di Kopenhagen.
Perusahaan-perusahaan besar AS termasuk Duke Energy, Microsoft dan Dow Chemicals, mendesak AS untuk berupaya lebih keras lagi menurunkan emisinya sehingga mendorong pergeseran kepada ekonomi hijau (ramah lingkungan). (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009