Jakarta (ANTARA News) - Indonesia bersama dengan Jerman memimpin pertemuan konsultasi informal tingkat menteri tentang target negara maju dibawah Protokol Kyoto yang dimulai pagi waktu setempat di KTT ke-15 Perubahan Iklim (COP) UNFCCC di Kopenhagen, Denmark.
"Pagi tadi sudah disepakati, para peserta tidak keberatan untuk dipimpin oleh Indonesia dan Jerman," kata Juru bicara Delegasi Indonesia (Delri) Tri Tharyat yang ditemui di sela-sela KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark.
Pertemuan konsultasi informal tersebut dipimpin oleh Ketua Delri Rachmat Witoelar dan Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Noerbert Roettgen menyusul macetnya semua perundingan KTT Perubahan Iklim kemarin.
"Pak Rachmat diminta secara resmi oleh Presiden COP (Connie Hadegaard) karena Indonesia dipandang mempunyai kredibilitas dan telah berpengalaman sejak di Bali (COP-13 2007)," kata Tri Tharyat.
Sedangkan Ketua Delri, Rachmat Witoelar yang ditemui sesaat sebelum dimulainya pertemuan informal menteri tersebut mengatakan pertemuan dilanjutkan setelah pada Senin sore pertemuan dilakukan selama 2,5 jam dengan 35 delegasi yang berbicara.
"Mereka menyampaikan pendapat-pendapat prinsipal dengan tuntutan solusi apa yang mereka inginkan," kata mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut.
Tuntutan yang terungkap sangat bervariasi dari tuntutan penurunan emisi karbon yang besar untuk negara maju dari negara berkembang sampai keinginan negara maju agar jangan menjadi tertuduh dalam perubahan iklim.
Rachmat mengatakan posisi Indonesia sama seperti semula yaitu agar negara maju menetapkan komitmen yang jelas untuk target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
"Posisi Indonesia sama saja (dengan negara G77), tetapi karena saya memimpin maka saya tidak mempunyai pendapat," katanya.
Sebelumnya, perundingan di KTT Perubahan Iklim sempat terhenti karena kelompok negara 77dan Cina serta Afrika meminta komitmen yang lebih jelas dari negara maju untuk penurunan emisi GRK.
Bahkan kelompok negara Afrika menghentikan perundingan di Kopenhagen.
Sedangkan Anggota Delegasi RI (Delri) yang juga Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) , Agus Purnomo mengatakan G77 menghentikan perundingan di COP-15 karena adanya tekanan dari kelompok negara maju.
"Negosiasi sempat berhenti karena negara berkembang yaitu kelompok G77 merasakan tekanan yang cukup kuat dari negara maju untuk menggabungkan perundingan di AWG-LCA dan AWG-KP," kata Agus Purnomo yang lebih akrab dipanggil Pungki.
AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention) atau Pokja Ad-hoc untuk Kerjasama Jangka Panjang merupakan perundingan dari negara-negara peserta Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang membahas kerjasama jangka panjang untuk menangani perubahan iklim.
Sedangkan AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) merupakan perundingan dari negara-negara UNFCCC yang meratifikasi Protokol Kyoto untuk membahas komitmen tahap kedua yang dimulai 2013.
Oleh karena itu G77 meminta agar dibuat prioritas perundingan pada AWG-KP diutamakan atau diselesaikan dulu, baru dilanjutkan perundingan di AWG-LCA.
Negara-negara Afrika memprotes dan menuduh negara-negara kaya berusaha untuk membunuh Protokol Kyoto agar tidak berkewajiban menurunkan emisi GRK mereka.
Kelompok negara 77 juga menunda perundingan COP dan meminta negara maju harus berkomitmen untuk menargetkan penurunan emisi GRK mereka lebih banyak dibawah kewajiban Protokol Kyoto sampai 2020.
Tuntutan Negara Afrika dan G77 mendapat dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk dari LSM internasional.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009