Jakarta (ANTARA News) - Pengamat minyak dan gas Effendi Siradjudin memperhitungkan volume impor minyak Indonesia akan mencapai lebih dari satu miliar barel pada tahun 2019 nanti.
"Konsumsi untuk bahan bakar minyak kita tahun 2014 sudah akan mencapai 2,4 juta barel per hari, tahun 2019 sudah akan mencapai 3,4 juta barel per hari," kata Effendi dalam seminar "Energy Outlook: Quo Vadis Perpanjangan Production Sharing Contract" yang diselenggarakan LKBN ANTARA di Jakarta, Selasa.
Effendi yang juga Ketua Kaukus Migas Nasional menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi tersebut terlihat hanya dengan menghitung pertumbuhan otomotif dimana terjadi penjualan lima juta lebih motor dan 500 ribu mobil per tahun.
Jika kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sepeda motor dua liter per hari, sedangkan kebutuhan mobil 20 liter per hari, maka dalam satu hari konsumsi BBM akan mencapai 121 juta liter. Jumlah tersebut baru sebagian mewakili konsumsi BBM di sektor transportasi tanah air yang mencapai 70 persen.
Negara, menurut dia, mengeluarkan anggaran sekitar Rp400 triliun per tahun untuk mengimpor minyak. Dan di tahun 2019, saat impor minyak meningkat menjadi tiga juta barel per hari maka pemerintah harus mengeluarkan Rp1.200 triliun per tahun.
"Orang-orang masih tenang-tenang saja, saya heran. Kalau harga BBM naik, rakyat bisa resah, negara ini juga terancam," katanya.
Produksi minyak Indonesia saat ini mencapai 900.000 barel per hari, dan 50 persen dikirim ke luar negeri, mengingat 87 persen sektor migas dikuasai oleh asing. Kebutuhan minyak Indonesia sendiri saat ini, menurut dia, mencapai 1,4 juta barel per hari, sehingga masih perlu impor 950.000 barel per hari.
Potensi migas Indonesia sendiri, lanjut Effendi, masih cukup tinggi mengingat baru sekitar 60 hingga 70 persen saja yang telah dieksplorasi, sedangkan 30 persennya belum tergarap.
"Tapi kalau di dalam negeri saja `gonjang-ganjing` iklim usahanya, siapa yang mau investasi di sini. Undang-undang Migas kita justru terlalu liberal, ini juga jadi masalah," ujar dia.
Iklim usaha migas di tanah air saat ini, ungkap Effendi, terganggu oleh ketidakstabilitan politik dan keamanan, tidak adanya lagi kekhususan di migas sehingga membuat investor dipersulit dengan berbagai macam perizinan dan pajak.
"Kalau dulu semua Pertamina yang mengerjakan, investor hanya tinggal duduk saja," tambahnya.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009