Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) perlu menegur pemerintah yang dinilai menyimpang dari putusan MK terkait dengan proses pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyadapan.

"Kami meminta MK memberikan teguran atau minimal mengingatkan Pemerintah yang masih terus menyusun RPP tentang Penyadapan," kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho, di Jakarta, Senin.

Emerson mengingatkan, setidaknya terdapat dua putusan yang telah dikeluarkan MK terkait dengan penyadapan.

Pertama, putusan No 006/PUU-I/2003 yang menyatakan antara lain bahwa pengaturan penyadapan hanya dapat dilakukan di dalam UU sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Putusan kedua adalah putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menguji sejumlah pasal dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 antara lain dalam hal ketentuan penyadapan yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK.

Namun, MK justru menegaskan bahwa kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

MK pada saat itu memberikan catatan bahwa KPK dianggap penting secara konstitusional dan termasuk lembaga yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman.

Terkait dengan penyadapan, MK dalam putusan tersebut juga menyatakan bahwa untuk selanjutnya perlu terdapat UU tentang Penyadapan yang harus dirumuskan antara lain tentang siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman penyadapan.

Selain itu, dalam UU yang dimaksud juga dapat dirumuskan mengenai hal lainnya seperti apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup atau sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup.

Karenanya, menurut ICW, MK menegaskan bahwa perihal penyadapan hanya dapat diatur setingkat UU.

"Dengan kata lain, delegasi kewenangan pengaturan penyadapan pada pemerintah yang diberikan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Telekomunikasi adalah salah kaprah," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009