Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pengamat dan praktisi menilai reformasi sistem kepabeanan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea Cukai, Depkeu, harus diikuti dengan reformasi di tingkatan personil.
Usulan konkret yang mengemuka adalah memprioritaskan orang dalam sebagai kepala Bea Cukai berikutnya menggantikan Anwar Supriyadi, demikian hasil diskusi "National Single Window dan Reformasi di Tubuh Bea Cukai" yang direima di Jakarta, Minggu.
"Orang dalam lebih fungsional. Mereka lebih memahami peta permasalahan dan mengetahui tindakan prioritas apa yang harus segera dilakukan," ungkap Revolt Wenas, pengamat bisnis, ketika berbicara dalam diskusi yang diadakan Indonesian Positive Institut tersebut, di Jakarta, Minggu.
Wenas berpandangan, perpanjangan kembali masa jabatan Anwar merupakan sinyal yang buruk. Seolah-olah tidak ada orang yang bisa menggantikan posisi bekas Dirut Perumka ini sebagai orang nomor satu di Bea Cukai.
"Masa iya sih, dari 220 juta penduduk negeri ini tak satupun yang layak menjadi pengganti Anwar," katanya.
Terkait itu, Thamrin Bombang, pensiunan Bea Cukai yang kini menekuni profesi advokat, menegaskan bahwa saat ini cukup banyak sumber daya di internal Bea Cukai yang mumpuni. "Orang luar bisa menambah masalah" ujar Bombang.
Belum optimalnya reformasi birokrasi ditubuh Ditjen Bea Cukai juga diakui anggota Importir Telepon Selular Indonesia, Eko Nilam. Menurutnya, masih ada beberapa hal yang membuat eksportir dan importir kecewa dengan sistem yang dibangun oleh Bea dan Cukai.
"Sampai saat ini kepastian hukum yang diharapkan oleh pengusaha belum bisa diberikan. Dahulu kita bisa mengetahui besarnya tarif secara pasti tapi sekarang tidak bisa lagi. Bea cukai lebih menggunakan sistem borongan untuk penentuan tarif," kata Eko.
Ia menambahkan, sistem pencatatan kepabeanan yang tidak benar juga membuat pencatatan di Badan Pusat Statistik (BPS) kacau balau. Bahkan, sampai tahun 2001, BPS masih mencatat impor telpon selular dalam satuan kilogram bukan unit barang.
Menurut Eko, banyak importir yang dirugikan karena penentuan tarif yang belum jelas. Hal itu karena untuk jenis barang yang sama, kapal yang sama dan volume yang sama dikenakan biaya yang berbeda.
"Seharusnya kan sama karena 'equal treatment', jadi masih banyak oknum yang bermain," katanya.
Beberapa importir juga mengatakan hal yang sama, seperti Hary Soetaryo yang merupakan anggota asosiasi importir Indonesia dan anggota importir mobil Sintoro.
Ia mengatakan, tahun-tahun ini dirinya mengaku pusing dengan ketentuan-ketentuan baru seperti pelaksanaan denda dengan notul termasuk adanya adanya jalur merah dan jalur hijau. "Kalau lagi baik barang langsung diterima, tapi kalau moodnya lagi jelek bisa kena notul tinggi," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009