Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) kurang tegas dalam menetapkan kurikulum darurat yang akan diberlakukan untuk masa pandemi COVID-19 guna mengendalikan penularan wabah tersebut.
"Kurikulum dalam situasi darurat ini harus digunakan seluruh sekolah, tetapi menjadi kurikulum alternatif," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Baca juga: KPAI sayangkan keputusan izinkan belajar tatap muka di zona kuning
Ia mengatakan bahwa KPAI mengapresiasi upaya Kemdikbud untuk membuat kurikulum yang disederhanakan untuk situasi darurat COVID-19.
"Meski barangnya (kurikulumnya) belum diketahui publik dan KPAI juga belum mendapatkan Permendikbud tentang standar isi dan standar penilaian, karena perubahan kurikulum semestinya didasarkan pada standar isi dan standar penilaian," kata dia.
Namun demikian, KPAI menyayangkan penetapan kurikulum tersebut karena dinilai kurang tegas, sebab kurikulum dalam situasi darurat itu seharusnya digunakan untuk seluruh sekolah, bukan sekadar menjadi kurikulum alternatif.
"Seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran baru karena akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan, seperti pernah terjadi pada saat Mendikbud Anies Baswedan, yaitu berlakunya dua kurikulum, kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP," paparnya.
Baca juga: KPAI: Sistem zonasi permudah siswa bahkan di saat pandemi
Baca juga: KPAI sarankan Kemendikbud gratiskan internet siswa dari dana POP
Ia mengatakan bahwa di tengah masa pandemi seperti saat ini, kurikulum yang diberlakukan seharusnya adalah kurikulum yang juga disesuaikan dengan situasi darurat di seluruh Indonesia, sehingga meringankan guru, siswa dan orang tua.
Oleh karena itu, KPAI menilai bahwa penetapan kurikulum darurat sebagai kurikulum alternatif merupakan bukti pemerintah masih kurang tegas dalam mengarahkan pembelajaran yang tepat untuk situasi darurat COVID-19.
Sementara itu, terkait dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diperbolehkan pemerintah untuk digunakan mengganti biaya kuota internet siswa kurang mampu agar bisa mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring, KPAI juga mengingatkan bahwa dana BOS hanya diterima sekolah setiap 4 bulan sekali.
Adapun besaran dana tersebut, untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) sebesar Rp900 ribu tahun, SMP Rp1,1 juta per tahun, SMA Rp1,6 juta per tahun, dan SMK Rp1,7 juta per tahun.
Dana BOS, kata Retno, selama ini telah digunakan untuk memenuhi 8 standar pendidikan nasional. Oleh karena itu, jika dana BOS digunakan juga untuk membiayai kuota internet tentu menyulitkan dan membebani sekolah, karena sekolah harus bayar guru honor dan tenaga honor juga.
Baca juga: KPAI: Orang tua cenderung tidak dampingi anak bermain gawai
“Tidak ada pandemi saja dana BOS kurang. Apalagi ketika ada pandemi. Beberapa daerah memberikan juga BOSDA (BOS Daerah), tetapi tidak semua daerah karena sekolah juga harus menyiapkan infrastruktur kenormalan baru dengan dana BOS. Daftar belanja bertambah, tapi uang belanja tidak bertambah,” kata Retno.
Pewarta: Katriana
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020