AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention) atau Pokja Ad-hoc untuk Kerjasama Jangka Panjang merupakan perundingan dari negara-negara peserta Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang membahas kerjasama jangka panjang untuk menangani perubahan iklim.
Sementara AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol) merupakan perundingan dari negara-negara UNFCCC yang meratifikasi Protokol Kyoto. Sedangkan SBSTA (the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) merupakan badan tambahan dari UNFCCC untuk membahas dan memberikan masukan dari segi ilmu pengetahuan, teknologi dan metodologi.
Agus Purnomo atau yang lebih akrab dipanggil Pungki mengatakan Delri baru menerima tiga draft keputusan tersebut pada Jumat pagi dari sekretariat UNFCCC sehingga belum berpendapat secara resmi.
Dengan dikeluarkannya tiga draft naskah keputusan persidangan, Pungki mengatakan maka perundingan sudah lebih jauh lebih maju dibandingkan kemarin yang memanas karena perbedaan pendapat dari negara-negara peserta.
"Dengan dikeluarkannya draft keputusan artinya perundingan saat ini sudah masuk pada tahap negosiasi," katanya.
Bila perundingan lancar, maka hasil pembahasan akan dibawa ke sidang pleno AWG-LCA dan AWG-KP untuk nantinya bisa disahkan pada pertemuan tingkat menteri mulai Selasa mendatang (15/12).
Pungki mengatakan dengan dikeluarkannya dua naskah draf keputusan COP dari AWG-LCA dan AWG-KP, maka usulan dari salah satu negara peserta untuk menggabungkan keputusan AWG-LCA dan AWG-KP tidak dibahas lagi.
Akan tetapi, Pungki menjelaskan semua hal bisa terjadi dalam semua perundingan di COP karena menggunakan sistem referendum.
Mengenai usulan amandemen Protokol Kyoto dari Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil (AOSIS) yang diwakili oleh Tuvalu, Pungki mengatakan hal tersebut wajar dalam perundingan di KTT.
Pungki mengatakan negara maju ingin mengganti Protokol Kyoto agar terhindar dari kewajiban menurunkan emisi gas karbondioksida, sedangkan negara berkembang ingin agar Protokol Kyoto tetap ada, bahkan kalau bisa mempertinggi angka target kewajiban penurunan emisi karbon oleh negara maju.
"Kalau negara AOSIS tidak peduli Protokol Kyoto diganti atau dilanjutkan, yang penting negara mereka selamat," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009