Washington, (ANTARA News) - Utusan AS Scott Gration akan kembali ke Sudan pada akhir pekan dalam upaya untuk meredakan ketegangan yang meningkat sebelum pemilihan umum dan referendum untuk Sudan selatan, Menlu AS Hillary Clinton mengumumkan Kamis.

Hillary meminta pengekanan diri dari semua pihak setelah polisi Sudan menahan tiga tokoh senior oposisi dan puluhan demonstran dari partai yang berkuasa di Sudan selatan, Senin, sebagai bagian dari tindakan keras yang meluas terhadap demonstrasi yang direncanakan, sebagaimana dikutip dari AFP.

Para pengunjuk rasa selatan membalas dengan membakar kantor Partai Kongres Nasional (NCP), yang berkuasa di Sudan.

"AS mengecam gangguan pada demonstrasi damai dan aksi kekerasan politik oleh pihak manapun," kata Hillary dalam sebuah pernyataan kepada wartawan ketika ia tampil bersama dengan Menlu Kroasia Gordan Jandrokovic

"Kebebasan majelis, kebebasan berbicara, perlindungan dari penangkapan sewenang-wenang adalah penolong untuk memungkinkan bagi pemilihan yang bisa dipercaya pada 2010," kata kepala diplomat AS itu.

"Kami mengakui bahwa beberapa bulan yang akan datang akan menjadi tegang ketika kita mendekati pemilihan umum dan referendum itu," ia menambahkan.

"Sangat penting bahwa semua pihak akan menggandakan upaya mereka untuk memecahkan masalah melalui dialog politik dan tanpa kekerasan," ujar Hillary.

"Utusan khusus Scot Gration akan kembali ke Sudan akhir pekan ini untuk membantu memulai lagi pembicaraan dan memecahkan masalah yang ada yang menyumbang pada ketegangan yang meningkat itu," katanya.

"Sudan merupakan prioritas penting bagi Presiden Barack Obama dan saya sendiri dan kami telah berkomitmen untuk melihat transformasi yang damai, demokratis seperti dimimpikan dalam Perjanjian Perdamaian Komprehensif dan pemecahan damai atas konflik di Darfur."

"Saya meminta semua pihak untuk menunjukkan kemauan politik yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu," ia menyimpulkan.

Perjanjian Peramaian Komprehensif 2005 telah mengakhiri dua dasawarsa perang saudara, perang pemberontak selatan terhadap utara --yang didominasi-Arab-- karena masalah sumber alam, agama dan etnik.

Sekitar dua juta orang telah melarikan diri dari rumah mereka dalam perang yang terpisah dari konflik di wilayah Darfur di Sudan barat itu.

Perjanjian perdamaian itu telah menyaksikan selatan, yang Kristen dan Afrika hitam, memperoleh otonomi regional di bawah kepemimpinan bekas pemberontak Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) -- dengan referendum mengenai kemerdekaan penuhnya yang potensial yang ditetapkan pada Januari 2011.

Namun SPLM dan pemimpin NCP, dan juga presiden Sudan Omar al-Bashir telah gagal untuk menyepakati pembaruan demokratis sebelum pemilihan umum April yang akan datang dan mengenai undang-undang prosedural untuk referendum selatan.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009