Jakarta (ANTARA News) - Konsentrasi gas CO2 (karbondioksida) di atmosfer tidak signifikan mempengaruhi perubahan temperatur udara karenanya banyak hal lain yang menjadi penyumbang pemanasan global perlu diteliti lebih lanjut, kata seorang peneliti.

Kesimpulan penelitan itu disampaikan peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Dr Ir Chunaeni Latief Msc, dalam orasi pengukuhannya sebagai profesor riset Indonesia di Jakarta, Rabu.

Ia menyebutkan radiasi inframerah yang diserap CO2 memiliki puncak spektrum 2,7 lalu 4,3 dan 15 um, yang bersumber dari radiasi panas 800,343 dan -80 derajat Celcius. Ketiga sumber temperatur tersebut sulit diperoleh dari sumber black body (sifat yang dimiliki CO2) di bumi.

Ketiga temperatur itu hanya bisa bersumber dari gunung berapi dan daerah stratosfer (lapisan atmosfer) ke atas, jadi bukan panas permukaan bumi. Dengan demikian black body di permukaan bumi sangat kecil pengaruhnya terhadap pemanasan global, kata Chunaeni.

Menanggapi tudingan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang CO2 sebagai sumber pemanasan global, Chunaeni menyatakan itu tidak benar.

Berdasarkan penelitian yang ia lakukan di Bandung, Jawa Barat, kemudian di Watukosek, Jawa Timur, dan Pontianak, Kalimantan Barat, konsentrasi CO2 di daerah itu tidak berpengaruh signifikan pada kenaikan temperatur, khususnya di permukaan daerah tersebut.

Konsentrasi CO2 di tiga daerah tadi sekitar 400 ppm, jauh di bawah 714 ppm.

Ditanya mengenai hasil penelitiannya yang bertolak belakang dengan isu pemanasan global yang menyebut bahwa CO2 sebagai sumber utama peningkatan temperatur di bumi, Chunaeni menyatakan bahwa isu itu sengaja dilontarkan negara-negara maju untuk kepentingan bisnis dan politis.

Selama ini Chunaeni bersama Lapan telah membangun Instrumen Satklim-1A yang dimanfaatkan untuk meneliti gas rumah kaca (GRK) khususnya CO2 vertikal. Walaupun banyak kendala yang dihadapi, instrumentasi Satklim-1A telah diujicobakan pada 2006 untuk mengukur CO2 vertikal di Bandung dan Watukosek.

Sejalan dengan sistem pengamatan GRK vertikal, dikembangkan juga instrumentasi Sains Atmosfer dan Iklim Lapan untuk CO2 bawah atau permukaan (Satklim LPN-1B) yang digunakan untuk memonitor CO2 permukaan secara tetap.

Perjalanan pengembangan instrumentasi Satklim LPN-1A, menurut Chunaeni, dapat disimpulkan bahwa instumentasi itu dapat digunakan untuk penelitian CO2 vertikal dan dapat dikembangkan untuk penelitian horisontal jarak jauh termasuk parameter atmosfir lain dengan menggunakan wahana balon.

Kemudian hasil pengukuran konsentrasi CO2 vertikal fluktuatif tergantung pada bulan atau musim saat itu. Hasil analisis menunjukkan CO2 tidak signifikan mempengaruhi perubahan temperatur karena banyak hal lain yang perlu penelitian lebih lanju.

Penelitian CO2 membuka peluang penelitian fenomena konveksi, dinamika atmosfer, kemungkinan munculnya lapisan CO2 di atmosfer atas dengan fenomena pendingin, dan fenomena lain.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009