Jika ada berita-berita yang mengklaim penemuan obat COVID-19, jangan cepat percaya, karena penemuan obat COVID-19 tidak semudah itu.

Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Prof. Zullies Ikawati menyampaikan bahwa penemuan obat untuk COVID-19 bukan sesuatu yang mudah sehingga masyarakat diharapkan tidak cepat percaya terhadap klaim penemuan obat atau ramuan herbal antibodi untuk penyakit itu.

"Jika ada berita-berita yang mengklaim penemuan obat COVID-19, jangan cepat percaya, karena penemuan obat COVID-19 tidak semudah itu. Carilah info-info berimbang pada lembaga-lembaga yang terpercaya seperti Badan POM," kata Zullies Ikawati melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Rabu.

Menurut dia, pernyataan penemuan antibodi COVID-19 yang berasal dari herbal merupakan istilah yang tidak tepat, karena antibodi sendiri adalah suatu protein yang dibentuk oleh sistem imun ketika menghadapi paparan antigen/patogen, bisa berupa virus, bakteri, jamur, dan lainnya, termasuk terhadap virus penyebab COVID-19.

"Jadi kalau ada orang yang mengklaim menemukan atau menciptakan antibodi, tentu itu hal yang sangat tidak tepat," kata dia.
Baca juga: Kemenkes bantah klaim obat tradisional untuk sembuhkan COVID-19

Antibodi, terangnya, adalah senyawa yang dihasilkan oleh sel-sel imun, yaitu oleh sel limfosit B yang bekerja melawan antigen. Dalam hal COVID-19 yang bisa disebut sebagai produk antibodi adalah plasma convalescent yang berasal dari pasien COVID-19 yang sudah sembuh.

"Pasien COVID-19 yang sudah sembuh akan memiliki antibodi terhadap COVID-19, nah ini yang kemudian diisolasi plasma darahnya lalu ditransfusikan kepada pasien sakit, di mana plasma darah ini mengandung antibodi COVID-19," kata Zullies.

Dalam konteks lain, lanjut dia, suatu antibodi bisa diisolasi dari makhluk hidup dan mungkin dikemas menjadi satu sediaan, misalnya Anti bisa ular (ABU). Serum anti bisa ular dibuat dengan cara memberikan bisa ular ke dalam tubuh hewan, seperti kuda atau domba.

Proses penemuan vaksin dan obat, kata Zullies, adalah proses yang berbeda. Obat bisa berasal dari senyawa kimia atau diisolasi dari herbal, atau sumber lain dengan target tertentu pada tubuh manusia.
Baca juga: Pada obat COVID-19 belum teruji, Kemenristek ingatkan warga selektif

Namun sebelum diujicobakan ke manusia, calon obat harus menjalani dulu serangkaian uji pre-klinik pada hewan atau pada sel, selain itu juga harus diuji keamanannya.

Sedangkan vaksin sendiri bukanlah obat, melainkan suatu senyawa berupa antigen yang lemah yang bekerja memicu produksi antibodi pada tubuh orang yang divaksin.

Untuk vaksin COVID-19, menurut dia, bisa dibuat antigen berupa keseluruhan virus yang dilemahkan atau bagian dari virus yang kemudian ditempelkan pada virus pembawa lain, atau berupa mRNA virus SARSCoV2. Orang yang menerima vaksin ini akan menghasilkan antibodi terhadap virus penyebab COVID-19, sehingga menjadi lebih kebal dan tidak mudah terinfeksi.

"Penelitian tentang vaksin di Indonesia sudah dimulai di Lembaga Eijkman bekerja sama dengan PT Bio Farma, tetapi prosesnya masih panjang untuk sampai ke pasar," kata dia.
Baca juga: Menteri PPN perkirakan vaksin COVID-19 tersedia pada 2021

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020