"Reformasi birokrasi KLH sebuah keharusan. Kami nilai masih lemah dari sisi aparatur yang cenderung stagnan, tidak ada perubahan SDM, lemah, tidak berwibawa, dan cenderung koruptif dengan `back up` sistemik yang minim," kata Ketua Bidang Lingkungan Hidup KNPI Heri Susanto di Jakarta, Selasa.
Dari segi regulasi, lanjut Heri, pada September telah disahkan revisi UU Nomor 23/1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang memberi penekanan pada penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Penekanan itu, katanya, untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.
Masalah perijinan diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut.
Dalam hal penegakan hukum lingkungan, pejabat pengawas yang berwenang dapat menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum yang berkoordinasi dengan kepolisian.
Bahkan pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.
"Tetapi, sekali lagi, kita tidak sekadar butuh reformasi peraturan perundang-undangan semata tanpa diikuti dengan reformasi birokrasi, terutama pelaksana dan pemangku kebijakan yang mengatasnamakan negara. Sebab ini akan menghambat pencapaian ideal yang dicita-citakan sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan itu sendiri," katanya.
Selama ini, lanjut Heri, telah banyak regulasi di bidang lingkungan hidup diterbitkan, namun pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. AMDAL yang semestinya dijadikan acuan untuk meminimalisasi dampak negatif proyek-proyek pembangunan nasional yang bersifat fisik masih dikoruptif oleh segelintir elit sebagai etalase politik untuk memperlancar proyek semata tanpa makna perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sebenarnya.
"Banyak proyek skala besar dioperasikan tanpa hitungan daya dukung lingkungan, hitungan resiko bencana, apalagi hitungan pemulihan kawasan dan penghuninya,` katanya.
Menurutnya, berbagai bencana alam yang terjadi di tanah air membuktikan kerusakan ekologis sudah sedemikian parah dan membutuhkan penanganan serius. Pemangku kebijakan harus berani dan tegas melaksanakan amanat rakyat di bidang lingkungan hidup.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009