belanja pemerintah dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi saat konsumsi rumah tangga dan investasi tertekan akibat pandemi COVID-19.

Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk mengoptimalkan belanja agar menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang pada kuartal II tahun ini terkontraksi hingga 5,32 persen (yoy).

Bhima menyatakan belanja pemerintah dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi saat konsumsi rumah tangga dan investasi tertekan akibat pandemi COVID-19.

“Pertumbuhan belanja pemerintah bisa lebih rendah daripada pertumbuhan konsumsi rumah tangga padahal harapannya ada di belanja pemerintah tapi ternyata minusnya sampai 6,9 persen (yoy),” katanya kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Baca juga: BPS: pertumbuhan ekonomi terkontraksi untuk pertama kali sejak 1999

Bhima mengatakan pemerintah harus segera mengoptimalkan belanja untuk mencegah potensi terjadinya pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi pada kuartal berikutnya sehingga menyebabkan adanya resesi.

“Ini salah satu penyebab kenapa kita akan masuk resesi pada kuartal III karena ternyata belanja pemerintah tidak bisa diandalkan sebagai motor utama untuk mendorong pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Ia menegaskan pemerintah tidak boleh menahan belanja sehingga jika ada permasalahan dalam birokrasi terkait pencairannya maka harus segera diselesaikan.

Baca juga: Pemerintah optimistis kuartal III-IV ada tren perbaikan ekonomi

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II jauh lebih rendah dibandingkan proyeksi pemerintah yaitu 3,5 persen hingga -5,1 persen dengan titik tengah di -4,3 persen.

“Ini lebih rendah dari perkiraan pemerintah termasuk perkiraan beberapa lembaga,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Tauhid menyatakan pemerintah harus mewaspadai dan segera membuat berbagai terobosan baru agar dapat mendorong pemulihan sehingga potensi resesi mampu dihindari.

“Situasi ini perlu diwaspadai karena semakin susah kita keluar dari ancaman krisis di triwulan III sementara ini sudah memasuki bulan kedua. Ini effort-nya besar sekali,” katanya.

Baca juga: Luhut: karena COVID-19, belanja pemerintah dipercepat

Ia menjelaskan ukuran resesi bukan hanya dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang resmi diumumkan tetapi juga bisa melalui jumlah industri yang tutup, PHK, angka kemiskinan, hingga sektor keuangan.

“Resesi itu ukurannya bukan hanya dari PDB jadi tidak harus resmi dari BPS karena itu penting untuk menyiapkan kebijakan baru yang extraordinary. Jangan sampai terlambat,” tegasnya.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020