Jakarta (ANTARA News) - Satu kuil Buddha yang dikelilingi oleh air adalah sisa terakhir dari satu desa yang sirna ditelan laut di Thailand --pemandangan yang terulang di seluruh Asia dan dunia.

Sebanyak 60 keluarga dipaksa pergi dari perkampungan nelayan yang dulu sangat indah, Khun Samutchine, saat laut --yang menjadi andalan hidup warga setempat-- merambah ke daratan sampai lebih dari 20 meter setiap tahun.

"Saya tinggal di tanah orang lain, saya tak dapat meninggalkan desa karena saya sangat miskin," kata Noo Wisuksin (71), sambil menunjuk kei air yang pernah menjadi lokasi rumahnya beberapa dasawarsa lalu.

Ia adalah seorang dari 25 juta orang yang terancam di delta sungai Chao Phraya, sungai luas di Thailand. Delta tersebut tenggelam karena terbendungnya aliran sungai itu dan dibersihkannya hutan bakau, saat perubahan iklim menaikkan permukaan air laut.

Dalam 30 tahun belakangan, air laut di Khun Samutchine telah menelan lebih dari satu kilometer lahan dan Noo telah memindahkan rumahnya ke belakang sebanyak delapan kali guna menghindari gelombang yang naik.

Di dekatnya terletak kuil Khun Samut, yang nyaris ditinggalkan, tenggelam di laut dan hanya dapat dimasuki melalui jalan yang terbuat dari beton. Satu jalur tiang listrik muncul ke permukaan air, terhampar di situ-situ saja.

Pembuatan bendungan di daerah hulu di sepanjang sungai tersebut yang mengalir ke Teluk Thailand telah mencegah endapan bertimbun, sehingga mengganggu keseimbangan akibat kekuatan erosi air laut, demikian laporan kantor berita Prancis, AFP.

Pembersihan hutan bakau yang tumbuh lamban untuk pembuatan lahan udang dan garam telah mempercepat kerusakan, katanya.

Lebih jauh ke pantai, desa Kok Karm dengan susah-payah berhasil mengubah arus untuk saat ini dengan menggunakan bahan tradisional yang murah.

Warga Vorapol Dounglomchan tampil dengan rancangan yang memanfaatkan batang bambu untuk menciptakan penghalang yang memerangkap endapan dari air laut dan menghentikan endapan lumpur dihanyutkan gelombang.

"Manfaat bambu ialah kami menaruh bahan alamiah ke alam," kata Narin Boonruam, sekretaris perhimpunan nelayan provinsi.

Tetapi bambu tersebut takkan banyak bemanfaat jika permukaan air laut naik lebih jauh lagi. Satu studi baru-baru ini yang disiarkan di jurnal ilmiah Nature menetapkan delta itu di dalam kategori risiko tinggi.

"Jika kami tidak memasang perlindungan apa pun terhadap erosi pantai, lebih dari separuh provinsi Bangkok akan sirna," kata Panada Tedsiri, penyelenggara Thai Community Foundation, satu organisasi non-pemerintah.

Saat para pemimpin dunia mempersiapkan pertemuan perubahan iklim, para pegiat mengatakan politisi perlu menangani cara menanggulangi erosi juga karena hal itu mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia.

"Itu adalah bencana yang merayap. Setiap hari, erosi memiliki dampak yang tak terlihat pada banyak orang," kata Tara Buakamsri, manager aksi bagi Greenpeace Asia Tenggara."Itu melipatgandakan, bukan hanya erosi, tapi juga perubahan iklim," katanya.

Di Malaysia, para pejabat mengatakan hampir 30 persen garis pantai menderita akibat erosi melalui pertumbuhan penduduk, urbanisasi, produksi gas dan minyak, dan perkembangan pariwisata.

Di India, sebanyak 1.500 kilometer atau 26 persen garis pantai utama menghadapi "erosi serius" dan "dengan aktif berkurang", kata Bank Pembangunan Asia.

Negara bagian pelancongan Goa telah mendirikan penghalang yang luwes di sepanjang dua hambaran pantai putihnya, tapi majelis lokal awal 2009 mendengar bahwa lebih dari 10 persen garis pantai jatuh ke dalam laut.

Bangladesh, yang berada di dataran rendah, akan menjadi salah satu negara yang paling parah mengalami pukulan akibat perubahan iklim. Panel Antar-Pemerintah PBB mengenai Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan, naiknya permukaan air laut akan melahap 17 persen seluruh lahan di Bangladesh paling lambat 2050, sehingga sedikitnya 20 juta dari 144 juta warganya kehilangan tempat tinggal.

Di Vietnam, kenaikan permukaan air laut satu meter hingga 2100 akan mempengaruhi 10 persen penduduk, lebih dari sembilan juta orang, dan hampir 38 persen lahan di Delt Sungai Mekong, tempat penghasil beras, demikian data di dokumen pembahasan PBB yang disiarkan awal Desember.

Pemerintah Australia memperingatkan pada November kenaikan permukaan air laut merendam 250.000 rumah paling lambat pada 2100, dan bandar udara, rumah sakit serta stasiun pembangkit listrik juga terancam.

Greenpeace mengatakan bekerja sama dengan masyarakat untuk menemukan rencana aksi lokal --seperti pohon bambu di Thailand-- penting untuk menanggulangi erosi, tapi menambahkan pertemuan puncak Kopenhagen juga mesti mempertimbangkan masalah itu.

"Pertemuan puncak Kopenhagen harus tampil dengan kesepakatan yang adil dan sangat kuat dalam menangani masalah ini dan meliputi berbagai keadaan seperti erosi," kata pegiat Greenpeace.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009