Permintaan tersebut disampaikan melalui surat terbuka yang ditandatangani Ketua Badan Pengurus YLBHI A Patra M Zen dan Direktur Advokasi Nur Hariandi di Jakarta, Senin.
"Kami meminta kepada Bapak Kapolri untuk segera memerintahkan bawahannya untuk mengambil tindakan dan proses hukum terhadap aparat kepolisian yang melanggar hukum dan melakukan kesewenang-wenangan," tulis Patra dalam suratnya itu.
Dalam surat terbuka itu, YLBHI memaparkan dua kasus kekerasan yang dilakukan polisi yakni terhadap warga desa Rengas, Payaraman, kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatra Selatan dan terhadap J.J Rizal, direktur Penerbit Komunitas Bambu.
Kekerasan di OKI, menurut YLBHI, terjadi saat pihak PTPN VII dengan dukungan aparat Brimob Polda Sumsel merobohkan pondok yang dibangun warga di sebagian lokasi lahan seluas 1.529 hektare, yang berdasar keputusan Mahkamah Agung (MA) tahun 1996 dinyatakan milik warga.
"Telah terjadi kesepakatan antara warga dan pihak PTPN VII di mana pihak perusahaan akan menyerahkan lahan kepada masyarakat. Karenanya, dapat dipahami warga bersiap-siap untuk membersihkan lahan dan mendirikan pondok-pondok yang tidak permanen di areal tersebut," kata Patra.
Belasan warga menjadi korban kekerasan dan luka tembak dalam peristiwa itu dan kini dalam perawatan rumah sakit, antara lain di RS Muhammad Husin Palembang.
Sementara kekerasan terhadap JJ Rizal terjadi pada 5 Desember 2009. Ia dipukuli oleh lima orang polisi dari Polsek Beji di depan Depok Town Square. Rizal sempat dirawat di RS Mitra Keluarga Depok. Belakangan diketahui aparat kepolisian "salah tangkap".
Dalam suratnya, YLBHI meminta Kapolri secara serius menjalankan Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, tertanggal 22 Juni 2009.
YLBHI juga meminta Kapolri bertanggungjawab mengganti kerugian yang dialami para korban, termasuk membiayai pengobatan bagi para korban.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009