Refly, dalam pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Selasa, mengingatkan aparat penegak hukum dalam upaya mengejar buronan negara tidak boleh berhenti hanya pada Djoko Tjandra.
Ia mencontohkan Harun Masiku, tersangka kasus suap terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan yang menjadi buronan negara dan sampai saat ini belum tertangkap.
Baca juga: KPK masih yakin Harun Masiku berada di Indonesia
Menurut dia, apa yang dilakukan Harun Masiku dengan menyuap penyelenggara pemilu sebenarnya lebih berbahaya meski secara nominal lebih kecil.
Djoko Tjandra memang secara korupsi besar dananya, katanya, tetapi yang dilakukan Harun Masiku meski hanya bernilai Rp500 juta lebih berbahaya karena pemilu bertujuan menyiapkan calon pemimpin.
Jika penyelenggara yang harusnya menjadi juri bisa disuap, kata Refly, maka proses demokrasi bisa menghasilkan pemimpin tak berintegritas.
"Integritas pemimpin secara keseluruhan, berpikir bukan hanya Harun Masiku. Penyelenggara pemilu yang tak berintegritas bermasalah kerugian trilunan, yang akhirnya penyelenggara pemilu bisa disuap. Fenomena ini bisa terjadi sebelumnya," kata Refly.
Selain Harun Masiku, sejumlah buronan kelas atas masih berkeliaran menghirup udara bebas, seperti Indra Budiman terkait perkara tindak pidana penipuan dan pencucian uang penjualan Condotel Swiss Bell di Kuta Bali.
Baca juga: KPK pastikan tetap kejar tersangka Harun Masiku
Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud berharap Polri mengejar dan menangkap buronan kelas atas lainnya yang berkeliaran, setelah berhasil menangkap Djoko Tjandra.
Aparat penegak hukum didorong "political will" Presiden Joko Widodo, kata dia, mampu menangkap Djoko Tjandra yang telah menghilang selama 11 tahun.
Dengan keberhasilan itu dan dukungan "political will" Presiden Jokowi, Marsudi berharap penegakan hukum ke depan akan semakin baik.
Marsudi menyatakan hukum harus ditegakkan terhadap siapapun yang terlibat kasus dan menjadi target buruan aparat penegak hukum.
Dalam pemberitaan sebelumnya,pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, menilai inkontitusional peninjauan kembali JPU terkait kasus cessie Bank Bali.
"Delapan tahun setelah eksekusi jaksa pada 2001 sudah dijalankan oleh Djoko Tjandra. Jaksa melakukan PK, berarti kedzoliman itu 'by order'," kata Anita.
Baca juga: KPK tak bisa perpanjang lagi masa cegah Harun Masiku
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020