Delegasi RI (Delri) melalui siaran persnya, Minggu, menegaskan mandat BAP menempatkan visi bersama sebagai arah aksi kerja sama jangka panjang dari para pihak peratifikasi konvensi Protokol Kyoto (COP) dalam upaya stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.
Upaya stabilisasi GRK tersebut dilakuakn dengan memperhatikan mitigasi termasuk target jangka panjang penurunan emisi dunia secara global, adaptasi, pendanaan dan alih teknologi.
Delri menyatakan negara maju harus tetap memimpin upaya mitigasi sedangkan negara berkembang akan berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya pembangunan ekonomi rendah karbon di masing-masing negara.
Indonesia juga akan menegaskan bahwa kesepakatan mengenai Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto akan menjadi faktor penentu di Kopenhagen karena harus berjalan secara sinergi dengan proses di Aksi Kerjasama Jangka Panjang.
Adanya upaya negara maju menghapus Protokol Kyoto merupakan pengingkaran atas semangat dan kewajiban Konvensi dan Protokol Perubahan Iklim.
Pada negosiasi terakhir berbagai negara melalui "Barcelona Climate Change Talks" bulan November 2009, dicapai kemajuan untuk adaptasi, kerjasama teknologi, pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang serta mekanisme untuk distribusi dana bagi negara berkembang.
Namun di Barcelona tidak ada kemajuan berarti untuk dua isu kunci, yaitu target pengurangan emisi jangka menengah bagi negara-negara maju, serta pendanaan yang memungkinkan negara-negara berkembang membatasi pertumbuhan emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang tidak terelakkan.
Sedangkan Ketua Harian Dewan Nasional Perubaan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar mengatakan salah satu strategi Indonesia adalah dengan bertindak proaktif dengan menurunkan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari "business as usual".
Target penurunan emisi karbon Indonesia tersebut, kata Rachmat, diharapkan akan memicu negara maju untuk berkomitmen dan mendorong negara berkembang lain untuk secara sukarela menurunkan emisi.
"Dengan dilengkapi strategi nasional untuk menurukan emisi tersebut, Indonesia akan mempunyai amunisi yang cukup untuk mendorong tercapainya konsensus internasional di Kopenhagen nanti," katanya.
Optimistik
Sekretaris Eksekutif Konvensi Badan Dunia untuk perubahan Iklim (UNFCCC), Yvo de Boer merasa optimis KTT Perubahan Iklim ke-15 akan menghasilkan kesepakatan internasional yang efektif dan ambisius.
Yvo de Boer di Kopenhagen, Minggu, mengatakan dalam waktu kurang dari dua minggu, negara-negara peserta konvensi UNFCCC harus memberikan respon yang memadai untuk tantangan penting dari perubahan iklim.
"Para negosiator sekarang mempunyai sinyal yang terkuat dari para pemimpin dunia untuk membuat proposal negosiasi bisa dilaksanakan dalam aksi," kata de Boer.
Merujuk pada beberapa janji pengurangan emisi yang telah dibuat oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang pada pertemuan-pertemuan menjelang COP-15, dia mengatakan hal tersebut merupakan momentum politik yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menghasilkan kesepakatan yang ambisius di Kopenhagen.
"Belum pernah selama 17 tahun dalam perundingan iklim terdapat begitu banyak negara-negara yang telah mengkonfirmasi begitu banyak janji penurunan emisi bersama," kata petinggi UNFCCC tersebut.
Oleh karena itu, de Boer mengatakan konvensi di Kopenhagen telah menjadi titik balik respon internasional untuk perubahan iklim.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009