Jakarta (ANTARA) - Dalam tiga dekade terakhir kejahatan tindak pidana pencucian uang (TPPU), atau lebih dikenal dengan sebutan populer money loundering, sudah menggurita ke seluruh dunia, dan merasuk ke hampir semua sektor kehidupan.

Kejahatan ini sudah sangat terorganisir, bersifat lintas batas teritorial (transnasional) dengan memanfaatkan globalisasi dan kemajuan teknologi. Ruang lingkup money laundering begitu luas, antara lain mencakup perdagangan manusia, narkoba, korupsi perjudian, penyelundupan (termasuk senjata), penggelapan pajak, sampai insider trading dalam jumlah yang sangat besar.

Sepuluh tahun silam saja kerugian akibat money laundering diduga tidak kurang dari 1 triliun dolar AS, apalagi sekarang. Bahkan ada ahli yang menduga lalu lintas money laundering mencapai 2,5 persen dari gross domestic product (GDP) dunia.

Istilah money laundering sendiri pertama kali dipakai di Amerika. Istilah itu merujuk kepada proses pencucian uang haram yang dilakukan dari hasil kejahatan mafia. Uang tersebut dicampur adukan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah menjadi menjadi uang yang diperoleh dari sumber yang sah dan karena itu dapat dimanfaatkan dengan bebas.

Istilah ini pertama kali digunakan tahun 1982 ketika untuk memberikan denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokain di Colombia (hal 194).

Tentu saja kejahatan money laundering berdampak sangat luas terhadap banyak sektor kehidupan dan penghidupan yang penting. Kejahatan pencucian ini mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapat negara dan meningkatkan country risk.

Money laundering juga menimbulkan ekonomi biaya tinggi, mengganggu persaingan usaha serta menimbulkan problematik sosial politik karena banyaknya uang haram yang dipakai dalam interaksi sosial politik. Lebih jauh, money laundering dapat pula menyebabkan tidak berjalannya sistem hukum dengan baik sehingga mengurangi kepastian hukum.

Pada konteks inilah penerbitan buku “Penerapan Asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Perkara Money Laundering, karya Hakim Agung Dr. Sofyan Sitompul, S.H., M.H.

Buku setebal 353 halaman terbitan Imaji Tjipta Karya ini, selain menjelaskan sejarah dan perkembangan money laundering, terutama juga membahas bagaimana penegakan hukum terhadap perkara-perkara money laundering yang rumit.

Kejahatan pencucian uang mempunyai ciri khas, yaitu kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda bahkan multidimensi. Selain itu sudah pasti kejahatan ini bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya, biasa juga disebut predicate offense atau core crime, yang menghasilkan uang.

Nah, uang hasil kejahatan itulah yang lantas mengalami proses pencucian sampai bersih, kalau perlu sampai “wangi.”

Adanya pencucian uang ini diharapkan akan mengaburkan asal muasal uang dan akhirnya menjadi uang “halal” atau legal, dan karenanya dapat dipakai sebagaimana uang lainnya. Dengan demikian, jelas semua uang hasil kejahatan hampir pasti dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan dari mana uang itu berasal.

Baca juga: BI: Bisnis Valas Rawan Money Laundering


Dua tujuan utama
Ada dua tujuan utama dari proses money laundering atau pencucian uang. Pertama, melalui proses panjang dan berliku-liku serta rekayasa keuangan yang sangat canggih, membuat uang tersebut “bersih”, sehingga terbebas dari kemungkinan pengusutan apapun oleh petugas hukum.

Proses pencucian yang sedemikian rupa, dan juga sering melibatkan para profesional di bidangnya masing-masing, membuat petugas sulit menelusurinya dan memisahkan dari mana uang berasal. Tujuan kedua, setelah uang “bersih” menjadi tidak dapat disita diblokir oleh siapapun juga, dan dengan begitu dapat dipakai lagi untuk usaha-usaha yang legal apapun.

Sebelum tahun 2002, Indonesia masih dinilai dunia internasional sebagai ladang pencucian uang. Tidak adanya peraturan mengenai pencucian uang di Indonesia, bukan saja membuat Indonesia dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan money laundering, tetapi Indonesia juga sempat dicap dunia internasional tidak mempunyai kehendak bekerja sama memberantas money laundering.

Tak mengherankan Indonesia Indonesia kemudian dimasukkan ke dalam daftar negara hitam dalam memerangi money laundering. Tetapi kemudian Indonesia sedikit demi sedikit, atas inisiatif sendiri, mengikatkan diri kepada berbagai konvensi atau ketentuan internasional yang mengatur kerja sama sama pemberantasan kejahatan pencuaian uang. Barulah pada tahun 2002 Indonesia melahirkan UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Setahun kemudian undang-undang itu sudah diubah lagi melalui UU No 25 Tahun 2003. Setelah dari pengalaman melihat berbagai celah UU No 25 Tahun 2003, delapan tahun kemudian lahirlah undang-undang pencucian uang yang lebih konprehensif yaitu UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencuaian Uang (TPPU), yang sampai sekarang masih berlaku.

Baca juga: Cegah pencucian uang, PPATK gelar rakor dengan Kemenkop dan UKM

Empat pengecualian

Berbeda dengan UU sebelumnnya, UU No 8 Tahun 2010 ini sudah bersifat lex specialis atau UU yang khusus. Pada UU yang terakhir ini hampir semua tindakan pencucian uang, mulai dari menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menghibahkan, menitipkan membawa ke luar negeri sampai mengubah bentuk menjadi mata uang lain atau ke dalam surat berharga, dimasukkan sebagai bagian dari money laundering.

Selain itu pada UU TPPU No 8 tahun 2010 terdapat empat pengecuali prinsip. Pertama, menempatkan pecobaan, pembantuan dan permufakat jahat untuk melakukan money laundering disamakan dengan pelaku pencuian uang yang sudah selesai.

Kedua, peradilannya dapat berlangsung in absentia, atau tanpa kehadiran terdakwa. Ketiga, adanya jaminan kerahasian terhadap pelapor. Keempat, ini yang paling disoroti buku ini, sulitnya mengurai asal usul uang telah memunculkan pemikiran, dimungkinannya proses pembuktian terbalik.

Berbeda dengan kasus-kasus pidana lainnya yang mengedepankan asas praduga tidak bersalah (prasumtion of innocent), sehingga jaksa harus membutikan seluruh tuduhannya, pada perkara money laundering karena sudah merupakan kejahatan yang kompleks, terjadi pergeseran sistem pembuktian. Pasal 77 UU TPPU No 8 Tahun 2010 yang mengatur soal ini berbunyi,

“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Pada bagian penjelasan pasal 77 diterangkan, ketentuan ini dikenal dengan sebagai asas pembuktian terbalik.

Penerapan pasal ini menimbulkan sejumlah persoalan. Selama ini di dunia hukum pidana diterapkan asas universal praduga tidak bersalah. Adanya asas praduga tidak bersalah, menjadi tugas dari yang menunduhlah yang harus membuktikan tuduhannya. Sedangkan yang dituduh, selama tuduhan yang belum terbukti, harus dianggap tidak bersalah.

Konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik atau International Convenan on Civil and Political Right (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 12 tahun 2005 jelas juga mengakui asas praduga tak bersalah. Begitu juga Kitab Undang-undang Hukkum Acara Pidana (KUHAP) dan UU tentang Kekuasaan Kehakiman No 48 tahun 2009 dengan jelas menganut asas praduga tak bersalah.

Lebih jauh lagi, secara universal terdakwa memiliki hak untuk diam atau the right to remain silent. Hak-hak tersebut sebagai bagian perlindungan hak-hak asas manusia yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apapun atau non derogable right.

Pembuktian terbalik dikhawatirkan akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, karena telah tertutup kesempatan bagi tersangka pada tingkat penyidikan dan penuntutan untuk mengajukan pembuktian bahwa kekayaannya bukan berasal dari kejahatan.

Pada kerangka yang lebih besar lagi, sistem pembuktian terbalik ini akhirnya ditakutkan menimbulkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang membahayakan pelaksanaan rule of law dan demokrasi.

Sedangkan secara teknikal penerapan asas pembuktian terbalik menimbulkan pertanyaan, apakah jika ternyata terdakwa berhasil membutikan harta kekayaannya bukan berasal dari kejahatan, yang bersangkutan otomatis bebas, dan jaksa di lain pihak tidak perlu lagi membutikan dakwaanya? Begitu sebaliknya, apabila terdakwa gagal membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari kejahatan, berarti tugas jaksa menuntut sudah selesai ? Ternyata keseluruhan problematik itu belum diatur secara rinci dalam UU TPPU, khususnya dalam pasal 77.

Buku ini mempersoalkan dua hal: bagaimana pemberlakuan asas pembalikan beban pembuktian dalam perkara TPPU, dan bagaimana konsep pembalikan beban pembuktian yang efektif dalam implementasi perkara TPPU?

Sofyan Sitompul berpendapat, pengaturan hukum pidana tidak boleh mengesankan adanya kepanikan (panic relulation) yang menyimpang dari asas-asas hukum, tanpa dasar dan tanpa restriksi serta limitasi. Sikap berlebihan, menurut Sofya Sitompul, justeru akan menimbulkan ketidakadilan karena mengesankan terjadinya “over criminilization,” pengaturan yang tidak proposional serta membuka peluang terjadi ekses seperti pemerasan (extortion) dari tujuan hukum (hal 239).

Seseorang tidak dapat didakwa melakukan pencucian uang di luar “proceeding” hanya karena tidak dapat membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Beban pembuktian terbalik dengan demikian harus selalu dalam kerangka perkara yang sedang diadili berdasarkan UU TPPU yang berlaku.

Di sinilah Sofyan Sitompul melihat perlu adanya perubahan paradigma melihat money laundering dari kejahatan biasa menjadi kejahatan luar biasa, sekaligus sebagai pelanggaran terhadak hak ekonomi dan hak sosial rakyat.

Walaupun money laundering tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana awalnya, tetapi tidak disyaratkan harus lebih dahulu ada tindak pidana awalnya.

Kendati demikian, sama sekali tidak dibenarkan jaksa penuntut mengajukan dakwa tanpa disertai bukti-bukti.

Baca juga: Kepala PPATK dorong penerapan UU TPPU untuk kejahatan ekonomi

Menurut Sofyan dalam money laundering ada dua kriteria, kejahatan money laundering sendiri dan kejahatan yang terkait dengan money laundering itu. Dalam hal ini dibutuhkan peranan hakim yang visioner, yang dapat menerapkan proses hukum pencucian uang tanpa melanggar prinsip-prinsip hukum yang universal.

Ke depan Sofyan Sitompul mengharapkan, pasal 77 UU TPPU segera direvisi dan dijabarkan dengan lebih jelas, sehingga tidak menimbulkan problematik hukum lagi.

Sofyan menulis, “...untuk antisipasi penyempurnaan kelemahan penerapan pembalikan beban pembuktian, perlu ada penjelasan lebih rinci terhadap pasal 77 UU TPPU, bahkan sebaiknnya diatur secara tersendiri mengenai hukum acara beban pembuktian, yang pada intinya mengatur dalam melaksanakan hukum acara persidangan antara lain memerintahkan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, dengan mengajukan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam UU dan menentukan akibatnya jika tidak dilakukan oleh terdakwa.” (hal 316)

Dalam usulan itu, Sofyan menyebutkan kalau terdakwa tidak dapat membutikan harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, maka unsur sengaja dan dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan sudah terpenuhi, dan hakim dapat menyatakan terdakwa bersalah melalukan money laundering, serta jaksa tidak perlu lagi membuktikan unsur-unsur lainya.

Sebaliknnya, jika terdakwa dapat membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, hakim memerintahkan jaksa untuk membuktikan tuduhannnya.

Secara keseluruhan buku yang diambil dari disertasi penulisnya, penting bagi para penegak hukum dan kaum akademisi, agar memahami benar bagaimana filosofi dan ketentuan hukum yang mengatur money laundering atau pencucian uang. Dalam buku ini banyak informasi dan analisis penerapan hukum dalam perkara money laundering dalam yang dapat dipetik sebagai pelajaran sekaligus untuk diterapkan dalam praktek.

Buku ini setidaknya dapat menjadi pelajaran bagaimana “jurus” membongkar akar-akar money laundering.

Ke depan ada baiknya pada edisi berikutnya, data mengenai money laundering dapat ditambah atau diperbaharui, mengingat data yang disuguhkan di sini masih merupakan data 10 tahun silam, manakala disertasi ini dimuat.

Tentu dalam sepuluh tahun terakhir terjadi banyak perkembangan data baru. Selain itu, jika dicetak ulang, pada edisi berikutnya editornya ada baiknya lebih “berani” menyesuaikan format disertasi yang terbatas untuk kalangan akademi menjadi format buku yang dibaca juga masyarakat luas.

*) WINA ARMADA SUKARDI, wartawan senior dan penulis banyak buku.

Pewarta: Wina Armada Sukardi *)
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020