Jakarta (ANTARA) - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan masyarakat tengah membutuhkan sosok kepala daerah yang bersih dan tidak cacat moral, seperti pernah menjadi pecandu narkoba.

"Jika kepala daerah masih harus berurusan dengan persoalan seperti kecanduan narkoba, bagaimana ia bisa diharapkan memimpin daerahnya untuk membawa perubahan," ujar Lucius kepada wartawan di Jakarta, Senin.

Baca juga: Muhammadiyah apresiasi putusan MK melarang mantan pecandu maju pilkada

Menurut dia, figur pemimpin yang dibutuhkan masyarakat adalah yang bisa leluasa bekerja untuk menciptakan perubahan daerah itu sendiri ke arah yang lebih baik.

Oleh karena itu, kata dia, tidak etis apabila seseorang yang pernah terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba atau kejahatan lain menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak yang bakal berlangsung pada 9 Desember 2020.

"Orang yang sejak awal bermasalah dalam proses pencalonan tak akan memberikan optimisme pada hasil pilkada melalui keterpilihan pemimpin yang berkualitas," katanya.

Apalagi, kata dia, larangan pecandu narkoba maju di pilkada sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akhir 2019.

Ia menilai putusan MK tersebut secara tidak langsung sebagai angin segar untuk mendorong calon kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.

Jika ada partai politik mengusung calon kepala daerah mantan pecandu narkoba, Lucius menambahkan hal itu mengindikasikan kegagalan kaderisasi partai politik.

"Ini sekaligus membuktikan kaderisasi parpol tak berjalan maksimal, bahkan sekadar formalitas saja. Mereka yang dikaderisasi parpol juga tak serta merta mendapatkan jaminan untuk dicalonkan sebagai calon kepala daerah," kata Lucius.

Baca juga: Peneliti: Partai jangan usung mantan pecandu pada pilkada

Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan mantan pengguna narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah sejalan dengan penolakan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pilkada 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10/2016.

Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.

Putusan MK itu berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi, mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016.

MK menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi.

Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan.

Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Baca juga: Pecandu maju pilkada, Ketua PBNU minta KPU patuhi putusan MK

Baca juga: Patuhi putusan MK, Gerindra tak usung mantan pengguna narkoba

Baca juga: Bawaslu: Putusan MK beri kepastian hukum pengawasan Pilkada 2020

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020