Kolombo (ANTARA News/AFP) - Sri Lanka tetap melarang wartawan meliput warga sipil pengungsi perang yang telah diizinkan meninggalkan kamp-kamp penahanan mereka, kata sejumlah pejabat, Jumat.
Menteri Luar Negeri Rohitha Bogollagama menegaskan dalam wawancara dengan BBC pada Selasa bahwa media kini memiliki akses penuh, dan pernyataannya itu membuat banyak wartawan segera mengajukan permohonan untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah bekas zona perang di Sri Lanka utara.
Namun, larangan kunjungan ke Vavuniya, distrik di wilayah utara dimana pemerintah memiliki kamp-kamp penahanan, masih tetap diberlakukan meski wilayah itu dinyatakan "terbuka" pada Selasa.
"Larangan terhadap wartawan untuk mengunjungi pengungsi di kamp-kamp itu belum dicabut," kata Menteri Hak Asasi Manusia Mahinda Samarasinghe kepada wartawan.
Ketika didesak tanggal berapa kamp-kamp itu dibuka untuk media, menteri tersebut mengatakan, "Kami sedang berusaha mencabut larangan terhadap akses media, namun itu memerlukan waktu."
Sejumlah kecil orang yang diizinkan mengunjungi daerah itu mendapat pengawasan ketat militer.
"Media tidak diizinkan memasuki kamp-kamp itu," kata jurubicara kementerian pertahanan Lakshman Hulugalle.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menyatakan, mereka juga dilarang memasuki kamp-kamp itu dan belum ada pencabutan atas larangan itu, meski Bogollagama menyampaikan pengumuman tersebut.
Sekitar 288.000 orang mengungsi pada tahap-tahap akhir konflik setelah pasukan pemerintah mengalahkan pemberontak Macan Tamil dan mengakhiri perang puluhan tahun itu pada pertengahan Mei lalu.
Samarasinghe mengatakan, hampir 70 persen dari para pengungsi itu telah dipulangkan ke desa-deas mereka di wilayah utara dan timur dan kamp-kamp penahanan itu dinyatakan terbuka mulai Selasa.
Setelah mendapat tekanan gencar internasional, pemerintah Sri Lanka berjanji menutup kamp-kamp itu sebelum akhir Januari.
Masyarakat luas internasional menyuarakan kekhawatiran mengenai jumlah warga sipil yang tewas dalam babak terakhir perang, sementara kelompok-kelompok bantuan mencemaskan keselamatan sekitar 300.000 warga Tamil yang ditahan di kamp-kamp yang dikelola pemerintah Sri Lanka.
PBB menyatakan, lebih dari 7.000 warga sipil mungkin tewas dalam lima bulan sebelum perang berakhir pada Mei dengan kekalahan Macan Tamil.
AS, yang memelopori kecaman-kecaman atas kematian warga sipil dalam ofensif final militer terhadap pemberontak Macan Tamil, juga menyuarakan kekhawatiran mengenai korban-korban yang terlantar.
Sri Lanka mendapat tekanan internasional agar menyelidiki tuduhan-tuduhan mengenai pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang selama tahap-tahap final perangnya terhadap pemberontak Macan Tamil, yang dikalahkan pada Mei lalu.
Termasuk klaim-klaim yang dirinci dalam laporan AS adalah tuduhan bahwa para pemimpin Macan Tamil telah mencapai kesepakatan penyerahan diri dengan pasukan pemerintah namun mereka kemudian dieksekusi.
Namun, pemerintah Sri Lanka membantah bahwa pemimpin Macan Tamil Velupillai Prabhakaran dibunuh setelah menyerah kepada pasukan keamanan.
Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.
Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik etnik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.
Macan Tamil juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.
Juga dinyatakan tewas dalam operasi final militer adalah dua deputi Prabhakaran -- pemimpin Macan Laut Kolonel Soosai dan kepala intelijen LTTE Pottu Amman.
Tokoh penting lain Macan Tamil yang juga tewas adalah putra Prabhakaran dan calon penggantinya, Charles Anthony (24), pemimpin sayap politik B. Nadesan dan pemimpin Sekretariat Perdamaian LTTE yang sudah tidak berfungsi lagi, S. Pulideevan.
Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse telah beberapa kali mendesak pemberontak Macan Tamil menyerah untuk menghindari pembasmian total.
Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.
Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.
Lebih dari 70.000 orang tewas dalam konflik separatis panjang di Sri Lanka sejak 1972.
Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.
Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009