Upaya perlindungan konsumen perlu berangkat dari paradigma bahwa konsumen adalah aset

Jakarta (ANTARA) - Pakar keamanan siber global, Stephane Nappo, pernah menyatakan bahwa "Kepercayaan terhadap teknologi adalah hal yang baik, tetapi mengendalikannya adalah hal yang lebih baik".

Pesatnya kemajuan teknologi terutama pada abad ke-21 ini, tidak terasa bahwa kecanggihan teknologi ibarat pisau yang memiliki dua sisi kegunaan.

Ia tidak hanya membantu umat manusia dalam banyak hal, tetapi juga dapat dipergunakan untuk "menusuk" data pribadi seseorang di dalam jaringan dunia maya.

Dengan tereksposnya data seseorang di dunia internet, maka berbagai pihak yang bermaksud jahat bisa menggunakannya untuk melakukan berbagai tindak pidana kejahatan.

Terlebih pada saat pandemi, di mana semakin banyak orang yang menggunakan fasilitas daring untuk beragam hal, seperti dalam membeli sesuatu atau hanya sekadar jasa mengantarkan makanan.

Di Indonesia, berdasarkan data Google & Temasek 2019, ekonomi berbasis internet di Indonesia berkembang hingga empat kali lipat besarnya antara tahun 2015 hingga 2019, yaitu mencapai sekitar 40 miliar dolar AS atau 3,57 persen dari nilai PDB Indonesia.

Sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai 130 miliar dolar pada tahun 2025.

Selain itu, menurut data BPS, Indonesia mengalami kenaikan pengguna internet secara signifikan dari 10,92 persen populasi pada 2010 menjadi 43,52 persen populasi pada 2019.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, kelancaran lalu lintas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memungkinkan perubahan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, baik dalam kegiatan jual beli, pembayaran, pemasaran dan alat untuk kegiatan produktif lainnya.

"Pemerintah perlu memperhatikan proporsi mereka yang tergolong sulit mendapatkan akses internet, baik itu latar belakang ekonominya hingga sebaran daerah yang rendah konektivitas internetnya. Akses internet dapat mendukung inklusi digital yang berdampak pada peningkatan potensi ekonomi," kata Ira.

Ia mengingatkan bahwa kajian ADB memperkirakan efek kumulatif dari akselerasi inklusi keuangan yang didorong secara digital dapat mendorong pertumbuhan PDB sebesar 2-3 persen, yang dapat diwujudkan menjadi peningkatan pendapatan sebesar 10 persen pada masyarakat prasejahtera Indonesia dengan pendapatan kurang dari 2 dolar per hari.

Pernyataan ini diperkuat adanya data BPS yang menunjukkan kelas masyarakat berpendapatan rendah mempunyai proporsi terendah dari penetrasi internet dibandingkan masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi.

Hanya 28,30 persen masyarakat berpendapatan rendah mempunyai akses pada internet, sedangkan penetrasi internet tercatat 69,12 persen pada masyarakat berpendapatan tinggi. Dari lokasi geografis, daerah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat, mempunyai tingkat penetrasi lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi di bagian barat Republik Indonesia.

Baca juga: Riset: 40 persen konsumen daring Asia Pasifik alami kebocoran data
Perlindungan konsumen
Namun, ujar Ira, selain selain perluasan akses internet, perlindungan konsumen dan data transaksi ini juga perlu diperkuat.

Untuk itu, ia menegaskan bahwa revisi UU Perlindungan Konsumen dan legislasi Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi harus memastikan konsumen mendapatkan perlindungan yang konsisten untuk transaksi, baik secara langsung maupun daring.

Apalagi pada e-commerce, pihak ketiga sebagai penghubung memainkan peran penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen daripada pada transaksi langsung.

"Karena UU Perlindungan Konsumen tidak mengakui peran pihak ketiga, maka penting untuk memasukkan peran mereka ke dalam revisi yang akan dilakukan," jelasnya.

Selain mengakui pihak ketiga, revisi UU ini juga perlu mengevaluasi penjualan kembali secara daring, penggunaan internet secara umum, aturan pengumpulan data, ketentuan yang adil untuk kontrak digital, transaksi konsumen dengan konsumen, transaksi lintas negara dan transaksi produk digital seperti perangkat lunak dan media.

Ira juga menyoroti masih adanya tumpang tindih peraturan dan lemahnya koordinasi antarlembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menindak perlindungan konsumen.

Hal itu terindikasi antara lain dari masih banyaknya konsumen yang bingung untuk melakukan pengaduan pada pemerintah sektoral karena belum terkonsolidasi dalam satu pintu.

Apalagi, saat ini isu perlindungan data pribadi diatur oleh 32 Undang-Undang dan beberapa regulasi turunannya. Akibatnya, pelaksanaan dan pengawasan terkait isu ini tersebar di berbagai kementerian/lembaga.

"RUU Perlindungan Data Pribadi harus ditetapkan dengan standar yang tinggi sehingga mampu mengakomodasi perlindungan data dalam kondisi yang bisa memastikan persetujuan pengguna, keamanan data, dan transparansi. RUU tersebut harus menetapkan standar yang realistis untuk pelaku usaha maupun konsumen yang berdasarkan skenario risiko dan keuntungan dari perlindungan data," tegasnya.

Baca juga: BPKN: Perlindungan data pribadi kunci penggerak ekonomi saat COVID-19
Belum memadai
Masih belum memadainya perlindungan data pribadi konsumen dalam ekonomi digital juga dapat dilihat dengan masih banyaknya perangkat digital yang bisa merekam data konsumen dengan mudah seperti nama lengkap, alamat, bahkan hingga informasi KTP.

Perlu diakui bahwa di satu sisi, data ini dapat membantu perangkat digital mengoptimalkan pelayanannya untuk konsumen. Namun di sisi lain, data ini juga bisa dieksploitasi oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan laporan Global Data Protection Index 2020 oleh Dell Technologies, sebanyak 82 persen organisasi Teknologi Informasi (TI) mengalami kejadian disruptif pada 2019, seperti kehilangan data dan serangan siber.

"Lemahnya kerangka kebijakan dan implementasi perlindungan data pribadi membuat konsumen Indonesia sangat bergantung pada tindakan bisnis bertanggung jawab yang dilakukan secara mandiri. Contohnya adalah penandatanganan kode etik bersama oleh tiga asosiasi fintech pada September 2019 terkait perlindungan konsumen, perlindungan privasi dan data pribadi, mitigasi risiko siber, dan mekanisme minimal penanganan aduan konsumen dan lain-lain,” ungkap Ira.

Melihat urgensi melindungi data pribadi, Ira menekankan pentingnya agar pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi untuk segera dilakukan.

Jika RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan, lanjutnya, maka pengendali data wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis paling lambat 72 jam kepada pemilik data dan instansi pengawas jika terjadi penerobosan data atau kegagalan perlindungan data pribadi.

Saat ini, kerangka kebijakan yang berlaku memberikan tenggang waktu 14 hari. Selain itu, sangat penting bagi perusahaan untuk transparan, memberitahukan penggunanya, serta menjelaskan langkah-langkah yang akan perusahaan tersebut lakukan untuk memitigasi risiko dan langkah-langkah yang harus pengguna lakukan kalau terjadi kebocoran data.

Dalam acara webinar mengenai perlindungan konsumen yang dilaksanakan dalam konferensi virtual Digital Week 2020 oleh CIPS pada Juli 2020, Executive Director Indonesia Services Dialogue Council Devi Ariyani menekankan perlunya identifikasi critical area untuk menentukan perlunya kehadiran pemerintah atau tidak.

Proses identifikasi, ujar dia, perlu dilakukan secara bersama antara pemerintah, platform dan pelaku usaha. Devi juga menambahkan, proses ini kemudian dilanjutkan dengan pemisahan tanggung jawab.

"Upaya perlindungan konsumen perlu berangkat dari paradigma bahwa konsumen adalah aset. Paradigma ini selanjutnya dapat dipahami seragam oleh semua pihak untuk bisa merumuskan regulasi yang fokus pada perlindungan semua pihak," ucapnya.

Pembicara lainnya dalam acara yang sama, Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi memaparkan bahwa pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi memiliki urgensi yang mendesak karena semakin banyak kasus terkait penyalahgunaan data pribadi seperti data platform digital yang diperjualbelikan.

Ancaman resesi
Perlindungan data pribadi konsumen dalam era digitalisasi juga terasa penting mengingat adanya ancaman resesi yang telah menerpa beberapa negara dan saat ini sangat membuat keruh situasi perekonomian global.

Salah satu upaya dalam mengatasi potensi resesi antara lain adalah pemerintah perlu untuk terus mendorong konsumsi dalam rangka menggerakkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tetap terus tumbuh.

Pasalnya jika menilik ke belakang, dua kuartal pada tahun 2020 ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan.

Peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan berpendapat bahwa bila tren itu terus berlanjut maka dapat dipastikan bahwa resesi benar-benar ada di depan mata.

"Melihat perkembangan perekonomian saat ini memang betul, konsumsi perlu terus digerakkan setidaknya untuk meminimalisir dampak dari peluang resesi yang ada. Salah satu stimulusnya adalah dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada kelompok masyarakat yang tergolong rentan. Jika melihat data jumlah penduduk miskin secara bulanan, angkanya naik dari 25,1 juta menjadi 26,4 juta pada Maret 2020 yang lalu," jelas Pingkan.

Namun masalahnya dalam bantuan langsung tunai, ujar Pingkan, masih terletak pada sejumlah masalah klasik seperti mekanisme pendataan penerima dan juga tahapan pelaporan jika terjadi kendala teknis/kejanggalan distribusi.

Sedangkan bila melalui transfer rekening atau metode nontunai, lanjutnya, hal itu dinilai baik tetapi perlu diperhatikan bank mana saja yang dapat melakukannya serta harus dikomunikasikan jauh-jauh hari kepada masyarakat.

Dengan demikian, masih menurut dia, maka dapat diminimalkan adanya korupsi maupun kendala penyaluran yang tidak terkoordinir dengan baik antara pusat dan daerah.

Untuk itu, diperlukan pendataan yang kokoh terutama secara digital, sehingga otomatis juga dibutuhkan adanya penguatan mekanisme perlindungan data pribadi.

Oleh karena itu, sangat esensial untuk betul-betul diperhatikan bahwa di tengah-tengah situasi pandemi seperti saat ini, jangan sampai melupakan untuk melaksanakan perlindungan data pribadi dalam dunia digital.

Baca juga: Data "e-commerce" bocor, RUU Perlindungan Data Pribadi harus disahkan
Baca juga: Perlindungan konsumen e-commerce di Indonesia masih minim

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020