Semarang (ANTARA News) - Fatwa Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa pembentukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pilkada harus dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bertentangan dengan undang-undang.
Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Fitriyah, Kamis, menjelaskan sebenarnya dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu dalam ketentuan peralihan mengatur bahwa dalam hal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum terbentuk memang Panwaslu Pilkada menggunakan aturan lama UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Ia mengatakan, pada waktu Pemilu Gubernur Jawa Tengah pembentukan Panwaslu masih dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena pada waktu itu Bawaslu belum terbentuk. Kondisi tersebut dapat diatasi oleh ketentuan peralihan.
Namun, setelah Bawaslu terbentuk maka uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Panwaslu sebanyak dua kali lipat jumlah anggota yang diperlukan, dilakukan oleh Bawaslu untuk dipilih tiga orang.
Hal tersebut berlaku untuk pembentukan panwaslu tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Kekuatan UU sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan lagi (dengan munculnya fatwa MA, red.)," katanya.
Fitriyah menegaskan, dalam UU Nomor 22 Tahun 2007, sudah jelas mengatur bahwa ketentuan peralihan tersebut berlaku selama Bawaslu belum terbentuk.
"Setelah Bawaslu terbentuk, maka ketentuan peralihan tersebut tidak berlaku lagi," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Fitriyah, jika kemudian fatwa MA muncul dengan kembali menggunakan dasar UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, tentu hal tersebut mengabaikan UU yang terbit belakangan.
"Padahal, pelaksanaan peraturan perudang-undangan yang terbaru lah yang harus digunakan. Jika dikembalikan ke UU Nomor 32 Tahun 2004 tentu akan semakin membingungkan," demikian Fitriyah.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009