Semarang (ANTARA News) - Sosiolog Argyo Demartoto mengatakan, komunitas waria hingga saat ini belum memiliki ruang gerak yang cukup leluasa untuk mencari kesempatan bekerja secara normal sesuai dengan jati diri mereka sebagai seorang waria.
"Akibatnya, mereka (waria, red.) lebih banyak turun ke jalan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melakukan praktek prostitusi," katanya usai seminar "Homoseksual dan HIV/AIDS" di Gedung Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, Kamis.
Menurut Argyo yang juga Ketua Yayasan Gerakan Sosial, Advokasi, dan Hak Asasi Manusia untuk Gay (Gessang) itu, di dalam dunia prostitusi yang mereka masuki, waria pun harus memperjelas relasi seksualnya, dan otomatis yang menjadi "sasaran" mereka adalah kaum pria.
Bahkan, kata dia, ketika berbicara tentang waria, sebagian besar orang langsung dapat menangkap bahwa pekerjaan waria adalah pekerja seks, dan menghilangkan pencitraan negatif tentang sosok waria tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.
"Karena itu, diperlukan banyak kekuatan untuk mengadvokasi masyarakat agar mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap waria, berkaitan dengan kehidupan dan seksualitasnya, sebab pada dasarnya waria juga memiliki HAM sebagai manusia dan memiliki kelebihan masing-masing," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya telah meneliti tentang kehidupan komunitas waria di Solo dan menemukan beberapa permasalahan yang mereka alami, di antaranya tindak kekerasan, baik secara seksual, fisik, dan emosional, sebab secara emosional biasanya waria mengalami penolakan dari keluarga.
Kemudian, kata dia, permasalahan lain yang dihadapi waria adalah terkait keadilan, terutama dalam mendapatkan pekerjaan, mendapat akses keadilan, pemilihan pasangan, pelayanan publik, dan pemilihan tempat tinggal yang layak.
"Dalam hal pekerjaan, mereka sering mendapatkan penolakan untuk bekerja sesuai bidangnya, sehingga mereka kemudian memilih bekerja di bidang tertentu, misalnya salon, dan para waria juga sering dipaksa untuk menikah dengan lawan jenis, padahal mereka tidak menyukainya," katanya.
Menurut dia, masyarakat seharusnya lebih bijak dalam menghadapi fenomena waria, gay, lesbian, biseksual, transgender, dan transeksual, sebab keberadaan mereka merupakan sebuah fakta sosial yang ada di sekeliling kehidupan manusia, sehingga harus dihargai dan tidak merendahkannya.
"Ketika waria tidak dapat diterima oleh masyarakat, dalam diri mereka pasti akan muncul semacam ketakutan dan sikap tak acuh terhadap hak-hak yang dimiliki, sehingga mereka merasa lebih nyaman hanya hidup dalam komunitasnya, padahal kehidupan bersama dalam masyarakat sangat diperlukan," kata Argyo.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009