Masyarakat memandang penyakit itu bersumber dari alam seperti debu, angin dan lain-lain

Jakarta (ANTARA) - Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam mengatakan kondisi pandemi COVID-19 yang sedang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, mirip dengan kondisi saat terjadi wabah flu spanyol pada 1918.

"Petugas pemerintah kolonial rutin berkeliling menggunakan mobil untuk menyosialisasikan bahwa penyakit itu mematikan, lebih baik di rumah saja, memakai masker dan menjaga kebersihan," kata Tri dalam acara bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang disiarkan melalui akun Youtube BNPB Indonesia dari Gedung Graha BNPB, Jakarta, Sabtu.

Tri mengatakan hal itu dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena tidak semua orang pada saat itu bisa membaca koran dan mendapatkan informasi yang benar.

Baca juga: Doni Monardo: Bencana peristiwa berulang termasuk pandemi

Pemerintah kolonial menggunakan cara-cara sosialisasi secara langsung agar masyarakat pendudukan tidak menganggap remeh dan tetap waspada terhadap flu spanyol yang sedang mewabah.

Menurut Tri, pada saat itu terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah kolonial dengan masyarakat dalam menanggapi flu spanyol.

"Masyarakat memandang penyakit tersebut bersumber dari alam seperti debu, angin dan lain-lain. Sementara pemerintah kolonial melihat sumber penularan berasal dari luar, yaitu orang-orang pendatang yang menjadi pembawa virus," tuturnya.

Baca juga: Spanyol izinkan warga Inggris masuk tanpa karantina mulai Minggu

Tri mengatakan pada masa awal flu spanyol terjadi, hampir tidak ada yang siap baik pemerintah negara-negara di dunia maupun masyarakatnya. Ketidaksiapan itu terlihat dari penanganan yang lamban.

Ketika wabah penyakit itu mulai terjadi, dan beberapa orang mulai memperlihatkan gejala-gejala tertentu, para petinggi sejumlah negara seolah-olah abai dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Baca juga: Dunia hadapi pandemi, Indonesia majukan perdamaian berkelanjutan

Begitu pula dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika sudah ada laporan dari daerah melalui telegram yang menyatakan sudah ada banyak korban, di antaranya dari Bali dan Banyuwangi, laporan itu tertahan di lembaga yang secara administratif setara dengan sekretariat negara selama berbulan-bulan.

"Karena tidak mendapat tanggapan, pemerintah kolonial di daerah akhirnya menjadi panik dan menyerahkan kepada masyarakat agar bertindak sendiri," tuturnya.

Masyarakat akhirnya lebih mengedepankan upaya pengobatan tradisional. Di dalam Serat Centini disebutkan sejumlah bahan-bahan alami seperti jamu yang kerap digunakan sebagai pengobatan.

Baca juga: Belajar dari sejarah pandemi di Hindia Belanda yang terlupakan

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020