Tikrit, Irak (ANTARA News/AFP) - Delapan orang, termasuk seorang perwira polisi senior anti-teror, tewas Kamis dalam serangan-serangan di Irak utara, kata polisi.
Letnan Kolonel Ahmed al-Fahel, kepala satuan anti-teror provinsi Salaheddin, dan sedikitnya tiga pengawalnya termasuk diantara lima orang yang tewas dalam serangan bom bunuh diri di Tikrit, kota asal Saddam Hussein, mantan pemimpin Irak yang dieksekusi.
"Serangan itu dilakukan oleh pembom bunuh diri, yang memakai rompi berisi peledak," kata Kolonel Abdel Haadi dari komando operasi gabungan Salaheddin.
Tujuh orang terluka dalam ledakan di toko perhiasan itu, yang terjadi sekitar pukul 17.00 (pukul 21.00 WIB) di Tikrit, 160 kilometer sebelah utara Baghdad, kata seorang polisi yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Fahel, yang berusia 40-an tahun, adalah salah seorang pemimpin kampanye menentang Al-Qaeda di daerah Salaheddin yang berpenduduk mayoritas Sunni Arab mulai 2007 dan membantu melenyapkan keberadaan jaringan teror itu di provinsi tersebut.
Perwira itu, yang juga menjadi polisi selama pemerintahan Saddam, sebelumnya selamat dalam beberapa usaha pembunuhan.
Dalam insiden lain di Irak utara, dua prajurit tewas di sebuah pos pemeriksaan di kota Mohallabiyah, 40 kilometer sebelah baratlaut kota utama wilayah utara, Mosul, ketika orang-orang bersenjata melepaskan tembakan ke arah mereka dan kemudian melarikan diri.
Di Baghdad, ibukota Irak, satu orang tewas dan enam lain cedera dalam ledakan bom di Adhamiyah, sebuah daerah utara yang berpenduduk mayorita Sunni Arab, kata seorang pejabat kementerian dalam negeri.
Serangan-serangan itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang membayang-bayangi pemilu Irak pada tahun depan.
Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Januari.
Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.
"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.
Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."
Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.
Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.
Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.
Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.
Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.
Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.
Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.
Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009