Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung menyatakan akan konsisten dalam menangani kasus Bank Century terkait pengucuran dana talangan (bailout) dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke bank tersebut sebesar Rp6,7 triliun.

"Kan beda-beda subyek hukum, (KPK) bukan dana talangan, tapi penyertaan modal usaha itu," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, menanggapi agenda KPK yang akan menangani kasus Bank Century, di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (25/11) telah menerima hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kasus Bank Century.

Kemudian, KPK menjalin kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Century.

Ketua Plt KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, mengakui KPK masih melakukan penyelidikan kasus tersebut, satuan tugas penyelidik KPK masih melakukan berbagai upaya untuk menemukan unsur tindak pidana dalam kasus itu.

Padahal sebelumnya Kejagung pernah menyatakan "bailout" atau proses pengucuran dana Bank Century Rp6,7 triliun belum terlihat sebagai perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara.

"Pengucuran dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) atas rekomendasi KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) belum terlihat sebagai perbuatan melawan hukum dan merugikan negara," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dikatakannya, pertimbangan pengucuran dana tersebut ada landasan pijakannya, yakni, Perppu Nomor 4 tahun 2008, kemudian pengertian gagal yang berdampak sistemik hingga perlu dikucurkan dan "bailout", terhadap perbankan paramaternya tidak diatur.

Tentunya, kata dia, soal berdampak sistemik itu yang mengetahui hanya regulatornya.

"Ketiga, tenggang waktu pengembalian dana itu selama tiga tahun dan dapat diperpanjang, saat ini belum berakhir," katanya.

Terlebih lagi, ia menambahkan saat ini sudah ada upaya untuk pengembalian uang tersebut.

"Jadi atas dasar itu Kejaksaan belum bisa mengklasifikasi kebijakan tersebut sebagai tindak pidana," katanya.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009