Bila dilihat domisili korban TPPO, Jabar di posisi teratas dengan angka 28,98 persen, diikuti DKI Jakarta 14, 77 persen, dan NTT 8,24 persen
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan angka permohonan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) mengalami penaikan tiap tahunnya, terhitung sejak 2015 hingga 2020.
"Berdasarkan catatan LPSK, angka permohonan perlindungan korban TPPO setiap tahunnya menunjukkan tren kenaikan jumlahnya," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam jumpa pers memperingati Hari Antiperdagangan Orang Sedunia yang digelar secara daring, Kamis.
Edwin menyebutkan pada tahun 2015 terdapat 46 permohonan perlindungan korban TPPO. Angka tersebut meningkat menjadi 117 permohonan pada tahun 2017, kemudian 176 permohonan pada tahun 2019.
Pada tahun ini, hingga akhir Juni 2020, terdapat 120 permohonan perlindungan korban TPPO.
Baca juga: IOM puji Indonesia dalam pencegahan perdagangan orang
"Total 704 korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sejak 2015 hingga Juni 2020," katanya.
Sebagian besar, kata Edwin, korban berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 438 orang dan 266 laki-laki.
Di antara jumlah tersebut, tercatat 147 anak, sebanyak 126 di antaranya berjenis kelamin perempuan.
"Bila dilihat domisili korban TPPO, Provinsi Jawa Barat di posisi teratas dengan angka 28,98 persen, diikuti DKI Jakarta 14, 77 persen, dan NTT 8,24 persen," kata Edwin.
Dalam kesempatan itu, LPSK juga menyinggung mengenai persoalan pekerja migran Indonesia (PMI).
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar menyebutkan jumlah PMI berdasarkan permohonan perlindungan yang masuk dari 2016 hingga Juni 2020 sebanyak 288 korban dengan perincian 153 korban perempuan dan sisanya pria, sementara korban anak perempuan sebanyak delapan orang dan dua anak laki-laki.
LPSK juga mencatat kawasan Timur Tengah masih menjadi wilayah yang banyak dituju oleh para PMI, sebagian besar menuju ke Arab Saudi. Sebagian korban TPPO juga dikirim ke negara konflik seperti, Sudan dan Suriah.
Baca juga: Korbannya besar, Menteri PPPA: Indonesia negara asal perdagangan orang
"Para korban perbudakan modern ini umumnya mengalami kontrak kerja yang tidak jelas, upah yang tidak dibayarkan, dan waktu kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan," kata Livia.
Perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, kata Livia, terus dialami para PMI.
Peristiwa pelarungan dan perlakuan tidak manusiawi ABK WNI di kapal berbendera Tiongkoka pada bulan Mei lalu, misalnya, merupakan satu di antara banyak kasus yang dapat dijadikan contoh betapa PMI sangat membutuhkan perlindungan dari negara.
Padahal, kata Livia, berdasarkan data dari Kantor Bank Dunia di Indonesia, pada tahun 2016 setidaknya PMI telah menghasilkan devisa sebesar Rp118 triliun dalam bentuk remitansi.
"Hal ini menegaskan besarnya kontribusi PMI sebagai penyumbang devisa negara terbesar kedua setelah sektor migas," ucapnya.
Livia menambahkan bahwa pemerintah Amerika Serikat juga telah melansir laporan tahunan yang berkenaan dengan kondisi penanganan TPPO di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Baca juga: Menteri PPPA: Perdagangan orang langgar harkat martabat manusia
Laporan tersebut menyatakan bahwa Indonesia mengalami stagnasi sejak 2013 sampai dengan 2020 yang masih menempati posisi Tier 2 sehingga tidak mengalami penaikan selama 7 tahun.
Menurut dia, pemerintah Indonesia saat ini dianggap belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang meliputi aspek penuntutan dan penjatuhan hukuman mengalami penurunan.
Selain itu, penghentian kasus, keterlibatan aparat yang tidak diproses secara hukum, dan pengurangan anggaran untuk perlindungan korban.
Berdasarkan hal tersebut, LPSK menyampaikan sejumlah rekomendasi, di antaranya meminta Polri dan Kejaksaan Agung secara terencana dan terukur mengembangkan kapasitas petugasnya dalam penanganan perkara TPPO.
Di samping itu, meningkatkan integritas petugas dalam pelaksanaan tugasnya agar tidak terkesan tebang pilih dan pilih kasih dalam penegakan hukum.
Baca juga: KPAI: Anak rentan dieksploitasi melalui media sosial
Pemerintah juga diminta memberikan alokasi anggaran yang memadai bagi perlindungan dan pemenuhan hak para saksi dan korban, mengingat para korban yang mengalami tindak kekerasan dapat mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis, yang memerlukan perawatan dalam jangka panjang.
"Alokasi anggaran juga diperlukan sampai dengan tingkat pemerintah daerah bagi terpenuhinya bantuan rehabilitasi psikososial bagi korban," kata Livia.
LPSK juga meminta Pemerintah untuk menjadikan laporan TPPO Indonesia yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat sebagai bahan evaluasi berharga bagi perbaikan dan peningkatan perlindungan korban TPPO pada masa mendatang.
"LPSK juga meminta Mahkamah Agung untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang mekanisme pengajuan penetapan pengadilan atas restitusi sebagaimana telah dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018," ucap Livia.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020