"Sikap politik Indonesia yang bebas aktif malah relevan saat ini, karena situasi politik dunia tidak bersifat bipolar atau multipolar lagi," ujar Menlu dalam Rapat Kerja jajaran Departemen Luar Negeri (Deplu) dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Rabu.
Marty mengatakan, kiblat politik RI dalam persaingan ideologi besar antara Barat dan Islam yang menjadi dasar dalam mewarnai atau membawa dampak pada upaya Indonesia mengatasi ancaman terorisme.
"Kami secara pribadi tidak menganggap persaingan yang terjadi saat ini adalah Barat dan Islam, karena kalau kita masuk ke dalam perangkap conflict between civilization (perselisihan peradaban), yang menggantikan Barat dan Timur sekarang menjadi Barat dan Islam," ujar Marty.
Untuk itu, pihaknya menyatakan bahwa Indonesia harus hati-hati jangan terbawa agenda pihak tertentu yang menginginkan seolah-olah ada dikotomi atau persaingan seperti ini yang membuat kita terperangkap pada satu pihak.
"Seperti langkah yang kita ambil pada masa lalu menyikapi masalah Barat dan Timur, kita menunjukkan kecerdasan kita untuk bersikap yang tepat dan mengedepankan kepentingan kita," tambahnya.
Khusus mengenai dampaknya dalam menangani isu terorisme semenjak kasus peledakan menara kembar di New York, AS, 11 September 2001 dan peristiwa Bom Bali 2002, Indonesia secara tegas menyampaikan bahwa tidak ada sangkut pautnya dengan masalah agama.
Sebelumnya suara Indonesia dianggap sebagai minoritas, akan tetapi berkat usaha keras Deplu ke dunia internasional maka konotasi Indonesia sebagai sarang teroris tersebut dapat terhapuskan, tambah Marty.
Ia menambahkan, Indonesia perlu menekankan aspek sumber root cause terorism. Setelah peristiwa bom Bali 2002, Deplu selalu mengingatkan untuk menyampaikan akar penyebab terorisme.
"Cara yang paling ampuh adalah respons demokratis, tidak bisa dengan hard power, tetapi dengan pendekatan yang menanggapi akar penyebab terorisme tersebut," kata Marty.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009