Jakarta (ANTARA News) - Penerapan perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) antara ASEAN dan China pada Januari 2010 diyakini mengancam keberlangsungan industri baja dan tekstil di Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Hidayat Triseputro, di Gedung DPR di Jakarta Rabu mengatakan, sejak tahun 2000 industri baja Indonesia terus mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk impor.
"Saat ini pemerintah masih memberlakukan pajak impor lima persen industri baja Indonesia sudah sulit. Setelah FTA ditandatangani yang menghapus pajak impor maka industri baja Indonesia bisa kolaps," kata Hidayat Triseputro kepada pers.
Dikatakannya, industri baja Indonesia selama lima tahun terakhir sudah sulit karena kalah bersaing dengan produk impor terutama dari Cina.
Tidak kompetitifnya industri baja Indonesia terhadap produk Cina, menurut dia, karena sejumlah faktor pendukung teknis industri sudah tidak kompetitif, seperti biaya transportasi, waktu transportasi di perjalanan, sewa kontainer, biaya pelabuhan, dan tarif listrik.
"Tingginya biaya pendukung industri baja tersebut membuat harga produk baja dari Indonesia tidak kompetitif," kata Hidayat.
Ia mencontohkan dua produk baja yakni HS-72 dan HS-73 yang nilai ekspornya ke Cina terus menurun dan sebaliknya produk impor dari Cina terus meningkat tajam.
Menurut dia, jika pemerintah Indonesia memandatangani FTA pada Januari 2010 yang membebaskan pajak impor maka produk baja Indonesia makin tidak kompetitif dengan produk dari Cina, sehingga bisa kolaps.
Ia meminta pemerintah menunda penandatanganan FTA pada Januari 2009 dengan pertimbangan akan mematikan sejumlah sektor industri, khususnya industri baja.
Aspirasi agar pemerintah menunda penandatanganan FTA, kata dia, juga muncul sangat kuat dari praktisi industri baja Indonesia.
"Pada Munas (musyawarah nasional) IISIA, Senin (1/12) kemarin, diskusi paling ramai soal FTA yang bisa membuat industri baja Indonesia mati," katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia mengatakan, industri tekstil selama beberapa tahun terakhir kondisinya sudah sangat sulit.
Pada 2009 hingga Juli nilai ekspor industri tekstil sudah merosot sekitar 520 juta dolar AS.
Menurut dia, industri tekstil Indonesia yang telah berusia 30 tahun sebenarnya cukup kompetitif dengan industri serupa di sejumlah negara tetatangga, asalkan diproteksi pemerintah.
Kesulitan yang dihadapi industri tekstil dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, bukan karena faktor pengusahanya tapi karena kebijakan pemerintah yang tidak melindungi pengusaha nasional.
Jika pemerintah menandatangani perjanjian FTA, kata dia, maka yang akan tergerus tidak sekadar pasar ekspor tapi juga pasar domestik Indonesia, karena akan dibanjiri produk impor terutama dari Cina.
"Jika perjanjian FTA tidak bisa ditunda, maka industri tekstil Indonesia hanya menunggu waktu kematian," katanya.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009