bapak bilang ada bagian fragmen yang harus dicek kebenarannya
Magelang (ANTARA) - Sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi tetap semangat untuk menulis hingga menjelang meninggal dunia pada Rabu (29/7) di RSUD Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah.
Titis Nitiswari, anak bungsu Ajip Rosidi di Magelang, Kamis, mengatakan sebelum meninggal ayahnya tengah menulis roman tahun 1960-1970an, namun belum sampai selesai.
Ia menuturkan pada suatu pagi habis menyampaikan mempunyai ide untuk membuat roman judulnya "Menjadi Indonesia". Sudah ada di kepala tinggal diketik.
"Namun, karena bapak sudah susah untuk mengetik, maka saya bantu. Ternyata baru delapan halaman karena mungkin sudah sepuh, bapak bilang ada bagian fragmen yang harus dicek kebenarannya karena pada saat itu kondisi politiknya bapak sedikit lupa dan harus dicek dulu," katanya.
Kemudian almarhum memintanya untuk mengambilkan majalah di perpustakaan pribadi yang berada satu komplek dengan rumah tinggal di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Baca juga: Ajip Rosidi dinilai sosok yang memikirkan negara melalui dunia sastra
Baca juga: Jenazah Ajip Rosidi akan dimakamkan di makam keluarga di Magelang
"Kemudian saya bawakan majalah Warta tahun 60-70an lalu ditaruh ke tempat bapak, 3 hari sudah dibaca, selanjutnya bilang akan meneruskan tetapi keburu jatuh untuk kedua kalinya dan masuk rumah sakit," katanya.
Titis menyampaikan bahwa temannya pernah menanyakan pada almarhum tujuan terakhirnya apa dan dijawab ingin membuat sesuatu tentang Rosulullah SAW.
"Apakah itu buku, puisi atau lainnya saya belum tahu," katanya.
Titis menyebutkan bapaknya telah beberapa kali jatuh sebelum akhirnya setelah jatuh untuk kedua kalinya harus menjalani perawatan di RSUD Tidar Kota Magelang pada Kamis (23/7).
"Waktu jatuh yang pertama itu pantat duluan tetapi waktu itu tidak bisa gerak sama sekali lalu dibawa ke tukang pijat akhirnya bisa gerak dan bapak merasa sudah bisa jalan dan memang sudah bisa jalan tapi masih dituntun, " katanya.
Ia menuturkan bapak merasa sehat dan suatu hari dia bangun mau jalan sendiri kebetulan ternyata tidak kuat dan jatuh dan terbentur kepalanya. Waktu terbentur kepalanya tidak merasa pusing, tidak muntah jadi tidak dibawa ke rumah sakit, selain itu khawatir terkena COVID-19.
"Keadaan bapak masih makan biasa, bertemu dengan tamu juga biasa jadi kita memutuskan tidak dibawa ke rumah sakit, tetapi setelah 10 hari dari kejadian jatuh, malam-malam bapak muntah, kemudian paginya kami minta dokter yang biasa memeriksa bapak untuk memeriksanya.
Hasil diagnosa dokter ada dua kemungkinan, pertama memang sakit atau masuk angin, satu lagi kemungkinan dari kepala yang terbentur itu dan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit.
Selanjutnya dibawa ke IGN RSUD Tidar dan setelan dilakukan CT scan ada pendarahan di otaknya dan dokter menjelaskan kalau pendarahan di otak didiamkan akan menyiksa bapak dengan rasa sakit yang terus-menerus, maka harus diambil darahnya itu cara yang terbaik.
Setelah menjalani operasi pada Sabtu (25/7), almarhum sudah bercanda seperti biasa. Namun pada Minggu malam mengalami kejang-kejang, kemudian Senin pagi masuk IGD dan ternyata kejang itu tidak berhenti dan obat antikejang yang diberikan tidak berfungsi.
"Akhirnya kemarin doktor menyarankan untuk mengganti obat, karena selama ini yang digunakan obat kejang generik, supaya diganti obat paten dan harus dibeli di Yogyakarta. Pada Rabu malam pukul 21.45 WIB obat sudah disuntikkan, kemudian saya pulang, namun sekitar pukul 22.20 WIB dapat kabar bahwa bapak sudah meninggal," katanya.
Baca juga: Sastrawan Ajip Rosidi berpulang
Baca juga: Sastrawan Ajip Rosidi dirawat di RSUD Tidar Magelang
Pewarta: Heru Suyitno
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020