London (ANTARA News/AFP) - Seorang prajurit Inggris tewas Senin dalam ledakan di Afghanistan selatan, sehingga jumlah kematian personel militer Inggris di negara itu menjadi hampir 100 tahun ini, demikian diumumkan Kementerian Pertahanan Inggris.

"Dengan sedih saya mengkonfirmasi bahwa seorang prajurit dari Batalyon I Coldstream Guards tewas pagi ini dalam sebuah ledakan di daerah Babaji di Provinsi Helmand," kata jurubicara Satuan Tugas Helmand Letnan Kolonel David Wakefield.

"Ia tewas melaksanakan tugasnya sebagai seorang prajurit Inggris, di antara prajurit-prajurit rekannya, dan kami akan mengenangnya," katanya.

Ia adalah prajurit Inggris ke-99 yang tewas di Afghanistan tahun ini. Keluarga dekatnya telah diberi tahu mengenai musibah tersebut.

Dengan kematian prajurit itu, jumlah personel militer Inggris yang tewas di Afghanistan sejak operasi itu diluncurkan pada Oktober 2001 menjadi 236. Sedikitnya 204 orang tewas akibat serangan musuh.

Prajurit itu tewas ketika Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengumumkan akan menambah 500 prajurit di Afghanistan sehingga jumlah pasukan Inggris menjadi 9.500 pada Desember, dan dengan pasukan lain jumlahnya akan lebih dari 10.000.

Pasukan Inggris ditempatkan di provinsi bergolak Helmand dimana mereka memerangi gerilyawan Taliban dan melatih pasukan setempat.

Tahun ini tidak saja mematikan bagi prajurit, polisi dan warga sipil Afghanistan namun juga bagi pasukan internasional yang memerangi Taliban.

Sekitar 500 prajurit asing tewas sejak Januari, yang menjadikan 2009 sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.

Presiden AS Barack Obama akan segera memutuskan dalam waktu dekat ini apakah akan mengirim sekitar 40.000 prajurit tambahan yang kata panglima militernya di Afghanistan, Jendral Stanley McChrystal, diperlukan jika tidak ingin kalah dalam perang di negara itu.

Terdapat lebih dari 100.000 prajurit internasional, terutama dari AS, Inggris dan Kanada, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.

Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.

Serangan-serangan Taliban terhadap aparat keamanan Afghanistan serta pasukan asing meningkat dan puncak kekerasan terjadi hanya beberapa pekan menjelang pemilihan umum presiden dan dewan provinsi pada 20 Agustus.

Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.

Dalam salah satu serangan paling berani, gerilyawan tersebut menggunakan penyerang-penyerang bom bunuh diri untuk menjebol penjara Kandahar pada pertengahan Juni tahun lalu, membuat lebih dari 1.000 tahanan yang separuh diantaranya militan berhasil kabur.

Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.

Antara 8.000 dan 10.000 prajurit internasional bergabung dengan pasukan militer pimpinan NATO yang mencakup sekitar 60.000 personel di Afghanistan untuk mengamankan pemilihan presiden Afghanistan pada 20 Agustus, kata aliansi itu.

Pemilu yang menetapkan presiden dan dewan provinsi itu dipandang sebagai ujian bagi upaya internasional untuk membantu menciptakan demokrasi di Afghanistan, namun pemungutan suara tersebut dilakukan ketika kekerasan yang dipimpin Taliban mencapai tingkat tertinggi.

Sekitar 300.000 prajurit Afghanistan dan asing mengambil bagian dalam pengamanan pemilu tersebut.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009