Jakarta, 30/11 (ANTARA) - Para Pengamat Ekonomi yang melakukan rapat dengar pendapat umum dengan Badan Anggaran DPR RI mengatakan perekonomian pada 2010 masih belum menentu.

"Untuk itu kita berharap APBN 2010 lebih fleksibel sehingga kita bisa bermanuver," kata pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih di DPR, Senin.

Menurut dia, perekonomian pada 2010 masih akan bergejolak akibat dari faktor eksternal (dari luar Indonesia) dan faktor dari dalam negeri.

Ia mengatakan, gejolak dari faktor eksternal karena perbaikan ekonomi yang terjadi saat ini dinilai masih sangat rapuh, dan dapat berbalik arah menuju pemburukan ekonomi dengan cepat.

Menurut dia, krisis keuangan bisa saja terjadi kembali, salah satunya dipicu oleh kasus gagal bayar Dubai World. Ia mengatakan, apabila dubai world tidak bisa diselesaikan segera maka akan berdampak terhadap perekonomian global.

"Kita juga akan terimbas oleh kasus ini, terutama aliran dana jangka pendek (hot money) yang bisa sewaktu-waktu keluar dan memukul rupiah," katanya.

Apabila rupiah terpukul, tentu saja akan membuat perekonomian Indonesia menjadi sulit, inflasi akan meningkat dan investasi yang didukung oleh barang modal impor akan tertekan.

Sementara itu faktor dalam negeri yang cukup menganggu saat ini adalah kasus seperti Bank Century. Menurut dia, apabila kasus tersebut berlarut-larut akan menguras energi dalam membangun di satu sisi.

"Di sisi lain juga semakin memicu ketegangan akibatnya resiko sosial politik meningkat dan pengaruhnya terhadap investasi terutama sektor infrastruktur. Momentum sudah hilang, 100 hari juga sudah hilang, jangan sampai tersandera lama. Khususnya dampaknya pada pembangun infratstruktur, karena di Indonesia banyak mengandalkan public private partnership (kerjasama pemerintah swasta), karena kalau tidak segera diselesaikan bagaimana kepastian hukum apalagi kalau suhu sosial politik meningkat," katanya.

Selain itu defisit APBN yang meningkat juga perlu diwaspadai terutama karena pembiayaannya berasal dari penerbitan surat berharga negara.

Ia mengatakan penerbitan surat berharga yang agresif telah memicu terjadinya perpindahan dana dari perbankan ke SBSN baik SUN maupun sukuk. Hal ini terutama karena imbal hasil SUN dan sukuk sangat tinggi.

Hal ini menurut dia, akan membuat suku bunga kredit perbankan di pasar juga sulit untuk turun. Apalagi menurut dia, ancaman meningkatnya imbal hasil SUN juga semakin menguat seiring dengan kondisi eksternal yang belum menentu.

"Saya merasa crowding out sudah terasa, itu mengakibatkan bunga bank tinggi di pasar, itu yang saya khawatirkan dampaknya bisa serius lagi karena penciptaan SUN akan memerlukan biaya yang lebih tinggi karena kondisi ekonomi dunia, sekarang inipun yieldnya masih 10 persen lebih tertinggi di ASEAN, kalau ini tidak diatasi menjadi beban APBN," katanya.

Pengamat ekonomi TIB Hendri Saparini mengatakan, Indonesia pada 2010 lebih baik berhati-hati karena negara yang memiliki hubungan ekonomi dengan Indonesia seperti AS dan Jepang masih sangat labil.

"Walaupun AS dan Jepang sudah membaik tapi bukan janji kepada Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.

Kedua, menurut dia, Indonesia tidak siap menghadapi era keterbukaan yang lebih kompetitif saat ini. Meski Indonesia merupakan satu dari tiga negara di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif saat ini, namun kualitas pertumbuhannya tidak bisa diharapkan berbeda dengan China dan India.

"Potensi perbaikan perekonomian bukan kita, tapi China dan India karena memiliki `competitiveness` (daya saing). China akan `recover` (pulih) dengan `hard warenya` (perangkat kerasnya), India dengan software (perangkat lunaknya). Kalau Indonesia `no where` (tidak kemana-mana)," katanya.

Hal ini menurut dia, dibuktikan dengan pertumbuhan industri manufaktur dan pertumbuhan pertanian yang terus memburuk. "Kita tahu dua sektor yang utama yakni manufaktur dan pertanian, share (kontribusi) manufaktur 28 persen dari PDB dan pertanian 14 persen PDB, tapi pertumbuhannya mengalami penurunan terus hanya 1,3 persen dikuartal III. Artinya `competitiveness` (daya saing) Indonesia semakin menurun," katanya.

Di sisi lain, menurut dia pola pertumbuhan ekonomi justru semakin memperkuat terjadinya informalisasi, yaitu perpindahan tenaga kerja dari sektor formal ke informal.

"Itu artinya kualitas pertumbuhan ekonomi semakin turun, karena lebih banyak yang bekerja sektor informal jadi pembantu dan lainnya, artinya ekonomi kita tak kompetitif," katanya.

Ia menambahkan, penerimaan pendapatan dari pajak yang diperkirakan anjlok dari target Rp661 triliun menjadi Rp576 triliun pada 2009 akan menambah masalah defisit.

Ia juga mengkhawatirkan penerimaan 2010 yang ditargetkan Rp775 triliun tidak akan tercapai mengingat kondisi ekonomi dunia masih sangat rapuh. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009