"Ada environment yang PSSI dan PT. LIB tak bisa handle, pertama kurva penularan yang kita belum tahu kapan akan melandai," ujar Anton dalam diskusi daring yang dipantau dari Jakarta, Selasa.
"Persoalannya bukan hanya koordinasi, bikin kompetisi dilanjutkan itu mudah. Tapi bagaimana dengan suasana yang luar biasa ini keselamatan pemain dijaga. Sehingga tak ada kluster di sepak bola," kata dia menambahkan.
Baca juga: PSSI dianggap belum beri jaminan kepada klub soal teknis kompetisi
Anton membandingkan liga-liga di benua biru yang bisa kembali menjalankan kompetisi seperti Inggris, Jerman, dan negara Eropa lainnya. Menurutnya, federasi di sana telah memperhitungkan secara matang konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi.
Di satu sisi, kurva penularan yang sudah bisa dikendalikan menjadi faktor penting bagi federasi memulai lagi kompetisi.
"Inggris, Jerman bisa lakukan karena kurva sudah turun. Jerman saja yang kita tahu yang sangat disiplin begitu luar biasa menjaga pemain. Kedua, tes seminggu bisa 3-4 kali dan itu dilakukan dengan ketat," kata dia.
Baca juga: Panduan kompetisi jadi alasan Persebaya tolak lanjutan Liga 1
Sementara di kompetisi Tanah Air, untuk tes kesehatan masih belum menemukan titik temu, meski PSSI telah mewacanakan menanggung tes cepat (rapid test).
Ia pun mendesak kepada PSSI dan PT. LIB apabila tetap bersikukuh melanjutkan liga untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Sebab, kata dia, sepak bola bisa kembali digelar kapanpun, sementara nyawa tidak bisa dikembalikan.
"Bahwa sepak bola apapun di dunia tidak lebih penting dari nyawa. Sepak bola memang penting, sepak bola harus jalan tapi bagaimana protokolnya, jangan korbankan nyawa," kata dia.
Baca juga: Persipura tak ingin gegabah tentukan sikap soal kompetisi
Baca juga: PSSI belum terima surat penolakan klub terkait lanjutan Liga 1 2020
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Irwan Suhirwandi
Copyright © ANTARA 2020