Lombok Barat, NTB (ANTARA News) - Sebanyak 185 hektare kawasan hutan di Desa Sesaot yang terletak di ujung timur wilayah Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, sudah disetujui izin usaha untuk pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) dengan masa konsesi selama 35 tahun.
Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI) NTB Rahmad Sabani kepada ANTARA di sela-sela kunjungan lapangan ke kawasan hutan Sesaot, Minggu mengemukakan, IUPHKM itu rencananya akan diserahkan Bupati Lombok Barat Dr Zaini Aroni dalam sebuah acara bertajuk "Sangkep Beleq" (pertemuan akbar) para pemangku kepentingan kehutanan di daerah itu.
Dalam kunjungan di dalam kawasan tersebut ikut pula Manajer Akreditasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Gladi Hardiyanto, Program Officer Ford "Foundation" Steve Rhee, dan belasan anggota "Forum Kawasan", yang terdiri atas kelompok-kelompok pengelola HKM dan kelompok usaha di kawasan sekitar hutan.
Konsepsi "Forum Kawasan" bekerja sama dengan Pemkab dan Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Lombok Barat, Dishut Provinsi NTB serta dukungan dari "Ford Foundation", Program ACCESS Phase II serta mitra lainnya menyelenggarakan "Sangkep Beleq" dengan mengundang berbagai pihak antara lain Menteri Kehutanan, Gubernur NTB, Bupati Lombok
Barat, Bupati Lombok Timur, Bupati Lombok Utara, Dishut Provinsi dan Kabupaten, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi dan Kabupaten serta Kecamatan, Kepolisian, Desa, LSM, ketua blok dan anggota kelompok/penggarap HKM.
Parapihak itu, katanya, bertemu guna membangun kesepahaman dan rencana bersama untuk perluasan akses dan kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan berbasis masyarakat lestari, rencana-rencana strategis dalam upaya pengembangan ekonomi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan menuju pengelolaan hutan lestari (PHL) dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Rahmad Sabani pada tahun 2009 Menteri Kehutanan telah menyerahkan keputusan pencadangan areal hutan untuk HKM bagi tiga kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cadangan areal kerja HKM di NTB.
Kawasan yang dicadangkan tersebut adalah Sesaot berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No: 445/Menhut-II/2009 tanggal 4 Agustus 2009 tentang penetapan areal kerja HKM di Kabupaten Lombok Barat, kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara dengan SK Menhut No: 447 /Menhut-II/2009 dan kawasan hutan Sambelia di Kabupaten Lombok Timur dengan SK Menhut No; 444/Menhut-II/2009.
Pengelolaan hutan Sesaot, Santong dan Sambelia oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber mata pencaharian, kata dia, sesungguhnya telah berlangsung cukup lama.
Sedikitnya, sejak tahun 1995 sejumlah 6.000 KK atau 18.000 jiwa di kawasan sesaot, 740 KK di kawasan Santong dan sekitar 400 KK di Kawasan Sambelia, sampai sekarang menggantungkan sumber kebutuhan ekonominya dari pengelolaan kawasan tersebut.
Di sisi lain, hutan Lindung Sesaot dengan luas wilayah 5.950,18 hektare merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran sungai (DAS) Dodokan. Kawasan ini merupakan kawasan hutan yang sangat strategis, sebab wilayah ini merupakan daerah tangkapan air dan memasok kebutuhan air bagi masyarakat wilayah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, baik untuk kebutuhan air minum melalui PDAM Menang Mataram maupun untuk pemenuhan kebutuhan air bagi irigasi pertanian.
Ia menambahkan, di sekitar wilayah Desa Sesaot, terdapat kurang lebih 40 sumber mata air yang berada di dalam kawasan hutan dan pinggiran kawasan hutan. Sumber-sumber mata air ini yang kemudian mengalir ke daerah hilir melalui beberapa sungai/kali yang bermuara di Kota Mataram dan Lombok Barat, antara lain: Kali Tembiras, Kali Lenek, Kali Pemoto, Kali Selepang, Kali Sesaot dan Kali Jangkuk.
Sementara itu, Manajer Akreditasi LEI Gladi Hardiyanto menjelaskan, setelah mendapatkan IUPHKM maka dua HKM yakni di Desa Sesaot dan Desa Santong, selanjutnya akan mengikuti skema sertitikai LEI untuk hutan rakyat.
"Jadi, setelah IUPHKM diperoleh, langkah selanjutnya adalah mengikuti sertifikasi LEI, harapannya akan adanya pengakuan dari parapihak bahwa masyarakat sudah bisa mengelola hutan secara lestari, dan kemudian mendapat nilai tambah," katanya.
Ia menjelaskan, skema sertifikasi LEI untuk hutan rakyat, sudah dilaksanakan di beberapa daerah Wonogiri, Sukoharjo, dan Sragen di Jawa Tengah, Gunung Kidul di Yogyakarta, Magetan di Jawa Timur, Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
"Kami berharap skema sertifikasi LEI untuk hutan rakyat ke depan bisa berlanjut pada hutan-hutan rakyat lainnya di Indonesia," katanya.
Sedangkan Program Officer Ford "Foundation" Steve Rhee melihat bahwa dengan potensi komoditas hasil non kayu seperti tanaman buah-buahan, dan juga jasa lingkungan seperti sumber mata air, membutuhkan penanganan yang melibatkan ahli ekonomi dan bisnis.
"Dengan adanya bantuan semacam itu, maka hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan itu akan menjadikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan bisa lebih optimal," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009